Rabu 31 Aug 2016 06:21 WIB

ICJR Sebut Mempidanakan Pelaku Zina dan LGBT Bikin Kelebihan Kriminalisasi

Rep: Amri Amrullah/ Red: M.Iqbal
Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh memberikan keterangan di depan majelis hakim konstitusi pada sidang lanjutan judicial riview KUHP pasal 284, 285, dan 292 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh memberikan keterangan di depan majelis hakim konstitusi pada sidang lanjutan judicial riview KUHP pasal 284, 285, dan 292 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (23/8).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Proses uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) terkait memperluas tindakan pidana kesusilaan bagi perilaku zina dan LGBT sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) perluasan tindak pidana kesusilaan bagi seperti zina dan LGBT akan berdampak over-kriminalisasi.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono mengatakan apabila permohonan ini dikabulkan oleh MK, khususnya terkait Pasal 284 dan Pasal 292, maka Indonesia akan berpotensi menghadapi krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over criminalization), yaitu banyaknya atau melimpahnya perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana. Dan, menurut Supriyadi,  lebih lanjut akan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Karena itu, ICJR memposisikan menolak upaya para pemohon yang tersebut, karena beberapa alasan. Pasal 284 KUHP memiliki klausal adanya ikatan perkawinan dan merupakan delik aduan didasarkan pada dua hal utama.

Pertama, pasal ini digunakan untuk melindungi lembaga perkawinan yang dilegalkan negara. Sehingga untuk menghormati lembaga tersebut, negara bisa mempidana mereka yang telah melanggar ikatan perkawinan.

 

Kedua, dalam risalah pembahasan KUHP, adanya delik aduan dikarenakan harus orang yang merasakan dampak dari zina tersebut yang bisa melapor, yaitu pasangannya, sebab tidak ditemukan rasio logis apabila negara masuk mencampuri urusan keluarga warga negara. "Dikhawatirkan bahwa ikut campurnya negara justru mendambah dampak buruk dari korban yang menderita akibat zina," katanya melalui pernyataan persnya, Selasa (30/8).

Sedangkan terkait uji materi Pasal 292 mempidanakan perilaku LGBT, Supriyadi menilai pasal tersebut yang menjadi titik tekannya perbuatan 'cabul pada anak' dalam konteks sesama jenis. Sebab, anak dianggap tidak dapat memberikan “persetujuan”.

Menurut Supriyadi, permohonan dengan alasan bahwa orang dewasa juga harus dilindungi dari pebuatan cabul sesama jenis. Sebab, sudah ada Pasal 289 KUHP yang berbunyi: 'Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.'

"Bahwa pasal 289 KUHP telah melindungi pebuatan cabul yang dilakukan pada orang dewasa baik sesama jenis atau berlainan jenis. Adanya klausal “anak” dalam pasal 292 karena anak harus dilindungi dalam semua keadaan, sehingga tidak membutuhkan unsur kekerasan atau ancaman kekerasansebagaimana dalam Pasal 289 KUHP," kata Supriyadi.

Upaya mempidanakan perilaku zina dan LGBT diajukan beberapa pihak diantaranya Guru Besar IPB Bogor Prof. Dr. Euis Sunarti dan Komisi Perlindungan Anak (KPAI). Para pemohon menilai dengan dilakukannya uji materi ketiga pasal di KUHP itu menjadi terobosan mengurangi kasus kejahatan seksual dan perilaku seksual menyimpang. Langkah ini sebagai strategi mengantisipasi perilaku LGBT yang belakangan mulai marak dan menjadi sorotan di masyarakat.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement