REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, kasus bom bunuh diri di Medan yang diduga melibatkan remaja menandakan bahwa pola gerakan jaringan radikalisme dewasa ini semakin bergeser.
"Mereka mulai melibatkan anak-anak. Ini tantangan serius bagi semua pihak termasuk orangtua, masyarakat, tokoh agama, guru, bahkan penyelenggara negara," katanya, Senin, (29/8).
Keterlibatan anak menjadi pelaku teror memang tak disebabkan faktor tunggal, setidaknya ada beberapa faktor. Antara lain pertama faktor genealogi, anak lahir dari keluarga berideologi radikal, cenderung berpengaruh terhadap perkembangan anak. Selain itu anak dipengaruhi interaksi dalam pengasuhan keseharian.
Kedua faktor ideologi patronase, anak yang didik oleh guru yang radikal akan memengaruhi cara berfikir dan bersikap pada anak peserta didik. Ketiga faktor peer group, anak rentan terpengaruh radikal dari teman sebaya yang radikal. Keempat faktor self radicalism, anak yang membaca laman, buku dan konten bermuatan radikal, bisa menumbuhkan emosi radikalisme.
"Mengingat kerentanan pada anak dan remaja terpapar radikalisme, memang diperlukan antisipatory intervention dan preventive intervension. Upaya yang bisa dilakukan melalui penguatan pengasuhan dan pendidikan sejak usia dini yang tidak menyimpang," ujar Susanto.
Anak bisa menjadi radikal karena terindoktrinasi cara memahami ajaran agama yang salah, cara memahami ideologi kebangsaan yang salah dan cara menyikapi peradaban Barat yang salah.