Sabtu 27 Aug 2016 07:30 WIB

Ahok, Arab Spring, dan Kepalsuan Media Sosial

Revolusi di Dunia Arab
Foto:
Ahok (kanan) saat rapat bersama petinggi PT Agung Podomoro Land, Selasa 25 April 2015

Untuk membahas pertanyaan di atas saya mengutip buku ‘The Social Media Bible’. Dalam buku itu dijelaskan mengenai apa itu sosial media. "Sosial media adalah adalah media manusia untuk melakukan sosialisasi dengan manusia lain," begitu penjelasan singkat dalam buku yang ditulis Lon Safko. 

Proses sosialisasi yang berlangsung di dunia maya itu punya karakter unik. Sebab mayoritas pengguna sosial media ternyata berada di posisi pendengar atau pengikut (followers). "Cara umum sosial media bekerja adalah mendengar terlebih dahulu, memahami konteks pembicaraaan, barulah mereka (pengguna) berbicara (bersikap) di akhir," begitu penjelasan Social Media Bible. 

Fase mendengar, memahami, dan bersikap ini menjadi kunci dari setiap gerakan yang muncul di sosial media. 

Fase pertama adalah mendengar. Lantas siapa yang didengar masyarakat di sosial media? Biasanya sumber suara yang didengar adalah orang yang punya pengaruh, akademisi, artis, atau aktivis. Istilah kerennya disebut 'selebritis' sosial media.

Fase kedua adalah proses pemahaman. Dalam proses ini, masyarakat yang memperoleh setiap informasi di sosial media mulai melakukan verifikasi. Biasanya dengan membandingkan informasi di sosial media dengan berita di media konvensional. Bisa pula proses pemahaman ini datang lewat pengalaman empiris. Fase terakhir barulah rakyat memutuskan bersuara.

Dalam kasus Arab Spring, struktur gerakan politik via sosial media pun sama. Namun cara mereka membendung gerakan itu yang keliru, yakni dengan mengandalkan kekuatan senjata.

Padahal senjata militer kalah ampuh dengan senjata sosial media yang relatif murah dan punya impak yang lebih dahsyat. Sebab senjata militer hanya bisa meggoyahkan fisik. Tapi senjata sosial media bisa menggoyahkan hati atau kepercayaan diri.

Walhasil pengalaman di Arab 2011 itu membawa perubahan bagi gerakan politik dewasa ini. Solusi kini bukan lagi mengandalkan kekuatan militer bersenjata, melainkan militer di dunia maya. 

Sebab mereka sadar ancaman nyata bagi sebuah bangsa saat ini bukan lagi perang militer melainkan perang media sosial. Tak pelak, kebutuhan tentara sosial media kini mendesak bagi setiap bangsa. 

Seluruh tokoh politikus pun kini butuh sosok selebritis dunia maya yang punya kemampuan untuk menyetir pengaruh di sosial media.

Tak heran maka banyak tokoh hingga kekuatan politik yang membentuk cyber army (tentara siber). Tentara ini punya fungsi untuk bertarung informasi di dunia maya, termasuk sosial media.

Sebab bukan rahasia lagi jikalau cara untuk menghancurkan lawan politik begitu mudah di dunia maya. Bisa dengan meretas dokumen, menghabisi karakter, atau rekayasa gerakan sosial. Karenanya, penting bagi kekuatan politik untuk merekrut orang terbaiknya demi jadi tentara di dunia maya. 

Tentara siber itu tak mesti harus berbentuk institusi khusus. Bisa saja si tentara siber itu adalah artis, musisi, atau aktivis. Yang terpenting tentara siber itu bisa menjadi ‘selebritis’ yang didengar oleh pengguna sosial media.

Di Indonesia, fenomena ini kasat mata. Tidak hanya Ahok, tapi seluruh kekuatan dan tokoh politik kini memiliki tentara sosial media atau selebritisnya sendiri.

Tak pelak, kini sulit untuk memisahkan mana gerakan politik yang benar-benar murni untuk kepentingan rakyat. Seperti di Arab, hingga kini semua masih berdebat tentang apa yang sebenarnya yang terjadi di Suriah dan Libya. Apakah semua ini demi kepentingan masyarakat atau barat?

Pun halnya ini berlaku di Indonesia. Sejatinya, siapakah yang paling mendapat manfaat atas kesuksesan gerakan politik Ahok. Pengusaha atau rakyat jelata?

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement