Sabtu 27 Aug 2016 07:30 WIB

Ahok, Arab Spring, dan Kepalsuan Media Sosial

Revolusi di Dunia Arab
Foto: FOREIGN POLICY
Revolusi di Dunia Arab

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Ada sebuah makalah yang amat menarik berjudul, "The Arab Spring story in a nutshell: Fake springs, post-modern coup d’etat." Makalah yang ditulis oleh Profesor Emeritus of Economics Drake University, Ismael Hossein-Zadeh ini membantah teori bahwa Arab Spring pada 2011 adalah gerakan murni masyarakat via media sosial.

Profesor berdarah Kurdi itu menilai, Arab Spring di Tunisia dan Mesir memang awalnya adalah sebuah gerakan yang alami. Ini berdasar kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan otoriter Ben Ali dan Husni Mubarak.

Namun tumbangnya Ben Ali dan Mubarak yang merupakan sekutu dekat Amerika dan Israel, membuat dunia barat khawatir. Terlebih arah gerakan via sosial media itu mulai mengancam sekutu utama barat di Arab, yakni Bahrain dan Arab Saudi. Aksi unjuk rasa mulai menggoyang kedua negara itu.

Sejak itulah, Ismael Hossein-Zadeh menilai, barat mulai campur tangan 'mengatur' fenomena Arab Spring. Bagi barat, Arab Spring bisa menjadi ancaman atau justru peluang. Ini tergantung ke mana domino Arab Spring mengarah.

Jika domino dibiarkan menghantam negara sekutu macam Saudi dan Bahrain, maka itu akan menjadi ancaman bagi barat. Sebaliknya, jika domino Arab Spring menghantam negara yang selama ini menjadi musuh barat, seperti Suriah dan Libya, maka hal itu bisa menjadi peluang.

Ismael lantas mengungkap bahwa sejak itulah Arab Spring mulai disetir. Arah jatuhnya domino tak lagi alami, melainkan diatur. Strategi propaganda Arab Spring pun mulai diarahkan ke Suriah dan Libya dengan menunggangi media, aktivis bayaran, lembaga HAM, hingga tentara siber. 

Hasilnya, Muamar Qadafi dibunuh dengan keji. Sedangkan Suriah bersimbah darah hingga kini. Teori ini juga diperkuat penelitian Zainab Abdul-Nabi dari Universitas of Sydney.

Penelitian itu membandingkan cara media pro barat memotret gejolak politik di Bahrain dengan Suriah atau Libya. Penelitian itu menunjukkan 57 persen narasumber Al-Jazeera dan CNN dalam pemberitaan terkait krisis di Bahrain adalah sumber resmi pemerintah. 

Sebaliknya, saat muncul gerakan di Libya atau Suriah, Al-Jazeera begitu masif dalam memberitakannya dari sisi oposisi. Lebih dari 60 persen sumber pemberitaan Al-Jazeera di Libya dan Suriah adalah suara oposisi.

Libya dan Qadafi yang selama ini merupakan musuh barat nyatanya ikut dihabisi oleh reportase Al-Jazeera.

Praktis jatuhnya domino revolusi dari Tunisia dan Mesir diarahkan menuju Libya lalu Suriah. Sedangkan domino yang hendak menjatuhkan Bahrain dan Saudi, berhasil dihentikan lewat strategi pemberitaan. Begitu inti dari penelitian tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement