Jumat 26 Aug 2016 12:08 WIB

Pakar Desak Bareskrim Lanjutkan Penyelidikan Karhutla Riau

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Indira Rezkisari
Helikopter BNPB jenis MI-8 dan MI-171 berada di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau, Rabu (24/8). BNPB menyiapkan empat Helikopter dan dua Pesawat Air Tractor untuk penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau.
Foto: Antara
Helikopter BNPB jenis MI-8 dan MI-171 berada di Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Riau, Rabu (24/8). BNPB menyiapkan empat Helikopter dan dua Pesawat Air Tractor untuk penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Badan Reserse dan Kriminal Polri telah mengklaim Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Polda Riau terhadap 15 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 sesuai prosedur.

Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry Purnomo, mengaku heran dengan hal tersebut. Sebab, menurut dia, alasan yang disampaikan Bareskrim tidak cukup kuat.

Diketahui, di antara lahan yang terjadi karhutla, ada yang izin pengolahannya masih dimiliki sejumlah perusahaan. Namun, lahan tersebut kemudian berstatus sengketa lantaran tidak dioperasikan perusahaan pemegang izin, sehingga warga setempat menggunakannya. Karenanya, Bareskrim menilai pihak perusahaan tak harus bertanggung jawab.

“Logika saya tak bisa menerima, kalau kemudian yang punya izin merasa tidak bertanggung jawab karena, menurut pengakuan dia, dia tak bisa mengamankan arealnya. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41/1999 dan Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Lingkungan, yang punya izin itulah yang bertanggung jawab,” papar Herry Purnomo saat dihubungi, Jumat (26/8).

Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) itu lantas mendesak agar penyelidikan kepolisian dilanjutkan lagi terhadap perusahaan-perusahaan yang masih memegang izin saat lahannya terbakar.

“Jadi bukan pemilik perusahaan tidak bertanggung jawab. Tidak bisa. Harus dia (perusahaan) dulu yang menjadi tersangka. Kemudian, kalau ada pelaku lainnya (terkait karhutla), ya tambahkan saja,” ujar Herry.

Herry menegaskan, seharusnya perusahaan mengembalikan izinnya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bilamana merasa tak mampu mengamankan lahan konsesi. Sekalipun bila lahan itu diduduki warga sekitar. Sebab, dengan menerima izin dari KLHK, maka perusahaan wajib mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi, semisal pendudukan lahan dan khususnya kebakaran.

Apalagi, dalam catatan Herry, di beberapa kasus seringkali konflik merupakan hasil kongkalikong antara perusahaan dan cukong setempat. “Saya sulit menerima alasan kalau perusahaan tak bisa bertanggung jawab lantaran ada konflik,” ucapnya.

“Setiap jengkal lahan di Republik Indonesia itu harus ada yang bertanggung jawab. Kan itu hutan negara. Yang bertanggung jawab, negara. Kalau sudah diberikan izinnya ke perusahaan, maka tanggung jawab perusahaan.”

Berikut ini 15 perusahaan yang terlibat dalam kasus kebakaran hutan 2015 lalu dan diputuskan SP3.

Diputuskan SP3 pada Januari 2016: PT. Parawira group oleh Polres Pelalawan, KUD Bina jaya Langgam oleh Polres Pelalawan, dan PT. Bukit Raya Pelalawan oleh Polres Pelalawan.

Diputuskan SP3 pada April 2016: PT. Bina Duta Laksana oleh Ditreskrimsus Polda Riau, PT. Perawang Sukses Perkasa Indah oleh Ditreskrimsus Polda Riau, dan PT. Pan United oleh Ditreskrimsus Polda Riau.

Diputuskan SP3 pada Mei 2016: PT. Alam Sari Lestari oleh Ditreskrimsus Polda Riau, PT. Riau Jaya Utama oleh Ditreskrimsus Polda Riau, PT. Suntara Gaja Pati oleh Polres Dumai, PT. Siak Timber Raya oleh Ditreskrimsus Polda Riau, PT. Hutani sola Lestari oleh Ditreskrimsus Polda Riau, PT. Dexter Rimba Perkasa oleh Polres Rohil, dan PT. Ruas Utama Jaya oleh Polres Rohil

Diputuskan SP3 pada Juni 2016: PT. Sumatera Riang Lestari oleh Ditreskrimsus Polda Riau dan PT. Rimba Lazuardi oleh Ditreskrimsus Polda Riau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement