REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia (BRGI) menilai penyelamatan gambut tropis di Indonesia perlu teknologi yang tepat. Hal ini juga sesuai dengan komitmen pemerintah dalam melakukan konservasi lahan gambut dan pencegahan pembakarannya termasuk teknologi pembasahan gambut untuk merestorasinya.
Deputi Penelitian dan Pengembangan BRGI, Haris Gunawan mengatakan, gambut sebenarnya terbentuk kurang lebih 90 persen dari air. Dia mengatakan kubah gambut perlu dipelihara untuk menjamin ketersediaan air. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tata air yang baik sehingga tidak mengeringkan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat.
"Kesalahan dalam pemanfaatan gambut selama ini adalah pengeringan melalui pembangunan kanal yang masif," ujar Haris dalam keterangan persnya, Jumat (19/8).
Pakar gambut dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Azwar Maas menambahkan, teknologi pembasahan harus dikerjakan sebelum gambut hidrofobikatau telah berdebu. Menjaga cadangan air di minimal 30 persen dari Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) menjadi prioritas menghadapi kemarau dan tidak ada hujan berketerusan.
Sejauh ini BRGI berupaya melakukan restorasi hidrologis dan revegetasi dengan tanaman ramah gambut. Upaya pengembangan sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat terus dikembangkan. Perlindungan kepada petani kecil menjadi perhatian BRGI meski belum ada rencana relokasi masyarakat dalam pelaksanaan restorasi.