REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketegangan yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Saefullah dianggap dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyatmaji mengatakan, tidak seharusnya gubernur dan sekda DKI saling tuding di media massa.
Kalau keduanya ada masalah, pihaknya menyarankan agar dibahas secara baik-baik. "Saya sebenarnya tidak mau ikut campur. Secara pemerintahan, yang pasti kepala daerah mestinya satu tim dengan sekda. Tapi memang saya perhatikan, hobi untuk berkonflik ini memang melekat pada diri Pak Ahok," kata Dodi kepada Republika, Jumat (19/8).
Menurut Dodi, persaingan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017, hendaknya tidak sampai merembet pada persoalan pekerjaan di lingkungan Pemprov DKI. Menurut dia, jabatan gubernur dan sekda itu merupakan pucuk pimpinan yang saling membutuhkan satu sama lain. Karena itu, ia menyarankan agar keduanya bisa menghentikan konflik yang menjadi pembicaraan warga Ibu Kota tersebut.
"Posisi kepala daerah itu membahasakan politik menjadi sebuah kebijakan. Sekda itu membahasakan kebijakan yang diadministrasikan agar tertib," ujar Dodi.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf mengatakan, Ahok tidak layak berkonflik dengan bawahannya gara-gara keduanya berpotensi berhadapan di Pilgub DKI. Menurut dia, jika terdapat perbedaan di dalam sebuah birokrasi, seharusnya dapat diselesaikan secara internal, tidak melalui media massa. Karena itu, ia menyebut, Ahok telah menyalahi kode etik demokrasi.
"Itu kan ada prosedurnya itu, ditegur, diberikan sanksi. Kalau tidak berubah ya diberhentikan. Itu, kan ada kewenangan atasan bukannya cekcok di depan umum, itu cara yang tidak benar itu," ujar Maswadi.
Maswadi menilai, cara Ahok menuduh Saefullah menggalang massa dengan menempatkan camat dan lurah pilihannya di depan publik, terlihat tidak mendidik di mata masyarakat. Bahkan, lanjut dia, tindakan Ahok bukan termasuk bagian dari demokrasi.