REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mantan menteri koordinator bidang kemaritiman, Rizal Ramli, menyatakan diri siap bila dicalonkan dalam ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 nanti.
Hal itu disampaikannya usai pertemuan tertutup dengan pelbagai tokoh masyarakat sipil di Jalan Tebet Barat Dalam IV, Jakarta. Hadir pula dalam kesempatan ini, tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Solahuddin Wahid, serta sejumlah pimpinan pelbagai kelompok masyarakat madani.
Rizal Ramli mengklaim, dirinya sejauh ini sudah didukung oleh tak kurang dari 40 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Ibukota. Meski begitu, dia ingin terlebih dahulu melihat keberterimaan di masyarakat Jakarta. Salah satunya melalui mekanisme survei.
Untuk diketahui, Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti dipastikan tanpa satu pun calon independen. Sebab, tanggal 7 Agustus 2016 lalu merupakan tenggat waktu terakhir penyerahan data KTP untuk calon jalur independen ke KPUD Jakarta.
Karena itu, lanjut Rizal, partai-partai politik pun perlu memetakan ke mana suara rakyat Ibukota tertuju. “Memang sudah puluhan organisasi yang mendorong, minta, supaya kami maju. Tetapi, semua ini masih sangat dinamis. Dan, dengan sesungguh-sungguhnya, kami ingin mendengarkan dulu suara rakyat,” ucap Rizal Ramli dalam jumpa pers di Tebet, Jakarta, Senin (15/8).
Dalam konteks itu, ekonom anti-neoliberalisme ini tak memungkiri adanya komunikasi dengan sejumlah ketua umum partai. Khususunya, parpol yang sejauh ini menolak dukungan bagi pejawat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Dia menegaskan, partai politik dan LSM dapat saling mendukung dan beriringan untuk mewujudkan perubahan mendasar bagi Jakarta. Tujuannya, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Ibukota. Artinya, tak sekadar lampau dari rezim lama.
“Saya memang sangat merindukan adanya gerakan rakyat yang memang ingin Jakarta ini lebih manusiawi, lebih makmur. People movement, bukan people power. Kalau people power itu, menggusur pemimpin dan dua bulan kemudian kempes. Ide perubahan sendiri tak terus diperjuangkan,” papar Rizal.
“Soal sederhana saja saya tak bisa terima. Kenapa rakyat di kampung-kampung di DKI harus beli air bersih dua kali dari orang di kota Jakarta. Nah, ketidakadilan ini ada solusinya. Yang kami ingin tahu, apa betul rakyat Jakarta hanya sekadar ingin ganti pemimpin karena suka-tak-suka, atau ada yang lebih mendasar lagi: ingin hidup lebih manusiawi,” ucapnya.