REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terorisme itu adalah kejahatan. Dengan demikian, terorisme itu wajib diberangus dimana pun tempatnya dan apapun alasannya.
“Terorisme itu harus ditindak secara tegas jangan hanya bicara saja. Intinya, terorisme itu tidak boleh ada di muka muka karena jelas mereka mengancam perdamaian umat manusia,” kata Romo Franz Magnis Suseno kepada media, Jumat (12/8).
Menurutnya, teroris adalah kelompok kecil yang punya kesadaran ideologi sendiri yaitu ideologi ekstrimis. Dan mereka sulit sekali untuk diajak kompromi, apalagi disadarkan. Mereka lebih percaya dengan ideologi kekerasan yang didapatnya dari dunia luar.
Terkait peran tokoh keagamaan dan kebangsaan dalan penanggulangan terorisme, Romo Magnis mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu mempunyai peran penting menciptakan suasana saling menerima antar pelbagai unsur yang ada di Indonesia. Tapi kalau untuk penanggulangan terorisme, ia belum melihat efektivitas peranan para tokoh itu.
“Saya dan para tokoh sering berdialog antar agama, tapi itu tidak berdampak langsung dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Jadi terorisme itu selalu identik dengan kekerasan dan pembunuhan, sehingga terorisme harus ditindak secara tegas juga,” tegas Romo Magnis.
Kendati demikian, ia mendorong peningkatan pemahaman kebangsaan seperti penguatan kembali nilai luhur Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Apalagi bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Sementara itu, Pembantu Rektor II Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, DR. Waryono Abdul Ghofur, MA mengungkapkan masyarakat tidak bisa melepaskan perbedaan agama dan keyakinan di Indonesia. Perbedaan itu justru adalah bahan yang kuat membangun kesatuan dalam NKRI. Pancasila adalah terbaik dan mampu mengikat semua perbedaan itu untuk melawan radikalisme.
“ Kita harus mendorong para anak bangsa kembali pada semangat para founding fathers bahwa perbedaan di Indonesia itu tidak bisa hilang. Justru dengan perbedaan itu kita membangun kesatuan,” kata DR Waryono.
Menurut Waryono, ibarat perbedaan itu seperti bahan bangunan yang terdiri dari batu bata, semen kapur, paku, kayu dimana semuanya merupakan komponen yang harus menyatu.
“Jika kita masih mau menyatu sebagai bagian dari NKRI. Batu biarlah menjadi batu, semen biarlah menjadi semen. Tapi kita kita diikat oleh Pancasila. Itu bangunan keindonesiaan. Jadi anak-anak kita, dan masyarakat yang banyak diterpa semangat radikal perlu disadarkan akan hal itu,” ungkapnya.
Menurutnya, Indonesia merupakan wilayah yang punya perbedaan-perbedaan politik, ekonomi. Perbedaan itu merupakan kekayaaan tersendiri, tapi mau bersatu menjadi Indonesia. Yang perlu dipelajari adalah Indonesia punya Pancasila dan UUD 1945 dan itu adalah hal terbaik yang dimiliki untuk melawan radikalisme.
Menurutnya, ini penting disampaikan kepada pihak-pihak yang tidak memahami sejarah, termasuk para pihak yang terterpa radikalisme. Mereka lebih banyak mengakses informasi dari luar khususnya anak-anak muda sekarang, yang tidak telaten mempelajari sejarah sekaligus tidak paham, apa di balik peristiwa sejarah itu. “Kemudian kita bersatu dari Sabang sampai Merauke menjadi Indonesia. Itu menurut saya penting,” katanya.