REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mewaspadai aliran dana yang digunakan untuk aksi terorisme dengan berkedok organisasi amal.
Ketua PPATK Muhammad Yusuf ditemui pada Pertemuan Internasional Menanggulangi Pendanaan Terorisme (CTF) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (10/8), tidak menyebutkan nama organisasi amal tersebut karena kemungkinan mereka juga tidak mengetahui kedok tersebut.
"Makanya kami buat aturan agar yang menerima sumbangan harus ada klarifikasi," katanya.
Yusuf lebih lanjut menjelaskan bahwa sebagian besar dana yang digunakan mendanai terorisme berasal dari sekitar 10 negara di antaranya negara-negara di Timur Tengah dan negara-negara tetangga. PPATK juga telah memetakan daerah rawan yang terindikasi mendapatkan aliran dana untuk aksi terorisme.
"Kami punya beberapa peta daerah yang rawan dan terindikasi tetapi saya tidak bisa sebut karena setrategi dari Densus 88. Kami sudah punya data yang sudah kami berikan kepada penyidik," katanya.
Mengalokasikan dana melalui yayasan atau organisasi amal merupakan salah satu modus yang digunakan para teroris untuk mendanai aksinya. Dengan cara itu, para teroris mudah mendapatkan uang tunai mengingat PPATK mampu melakukan deteksi aliran dana melalui transfer.
"Kebanyakan para teroris tidak menggunakan transfer kecuali sangat mendesak dan tidak ada pilihan lain," ujar Yusuf.
Saat ini PPATK tengah membangun Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai untuk memudahkan pengawasan aliran dana yang mencurigakan termasuk untuk pembiayaan terorisme.
Selain itu pihaknya juga memberikan kewenangan kepada aparat Bea dan Cukai untuk melakukan pemeriksaan orang termasuk uang di samping pemeriksaan barang.