REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemohon dan pemegang putusan judicial review Undang-Undang (UU) Grasi, Boyamin Saiman, menilai pelaksanaan eksekusi mati terhadap Seck Osmane dan Humprey Ejike, oleh Kejaksaan Agung merupakan tindakan ilegal karena keduanya tengah mengajukan upaya grasi.
"Ini jelas pelanggaran hukum dan ilegal," katanya yang juga koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) di Jakarta, Kamis (4/8).
Jika mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 22 tahun 2002 Grasi menyebutkan, "Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana".
Dalam Pasal 3 UU Grasi juga menyebutkan "Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati".
"Fakta yang ditemukan oleh kami, Seck Osmane mengajukan grasi itu pada 27 Juli 2016 dan Humprey Ejike pada 25 Juli 2016. Bahkan permohonan grasi itu juga sudah masuk di Mahkamah Agung (MA)," tegasnya.
"Putusannya sendiri belum ada apakah permohonan grasinya diterima atau tidak diterima oleh presiden, tapi eksekusi mati telah dilaksanakan. Ini jelas-jelas sudah melanggar HAM yakni penghilangan nyawa seseorang secara paksa atau tanpa ada kepastian hukum," katanya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII-XVI/2015 tertanggal 15 Juni 2016, maka bagi siapa pun terpidana mati dapat mengajukan grasi tanpa dibatasi waktu.
Ditegaskan pula dalam putusan itu, bahwa eksekusi mati tidak boleh dijalankan apabila terpidana mati mengajukan grasi dan belum dapat penolakan dari presiden. Karena itu, ia mempertanyakan sikap jaksa agung yang telah melaksanakan eksekusi mati itu.
"Kenapa eksekusi dilakukan pada orang yang masih melakukan upaya grasi," jelasnya.
Pihaknya mengaku sudah melaporkan tindakan sewenang-wenang dari kejaksaan itu kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAM Was). "Rencananya Jumat (5/8) akan melaporkan juga ke Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) dan pekan depan ke Komisi Nasional (Komnas) HAM," katanya.
Tidak tertutup kemungkinan, pihaknya juga akan mengadukan ke Mahkamah Internasional atas tindakan melanggar HAM yang merampas nyawa seseorang.