Rabu 03 Aug 2016 05:23 WIB

Bahasa Daerah Digunakan untuk Hal Kurang Serius

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agung Sasongko
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Dadang Sunendar menyampaikan materi pada Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung, Selasa (2/8).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Dadang Sunendar menyampaikan materi pada Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung, Selasa (2/8).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Penyelenggara Kongres Bahasa Daerah Nusantara, Rachmat Taufiq Hidayat,  Kongres Bahasa Daerah Nusantara ini digelar berdasarkan rekomendasi Kongres Basa Sunda IX Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, (LBSS), 11-13 Juli 2011, Rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda I, tanggal 22-25 Agustus 2001, Rekomendasi Konferensi Internasional Budaya Sunda II, tanggal 19-22 Desember 2011, Kongres Bahasa Jawa I (15-21 Juli 1991 di Semarang).

Serta, kata dia, berdasarkan Kongres Bahasa Jawa II (22-26 Oktober 1996 di Malang), Kongres Bahasa Jawa III (15-21 Juli 2001 di Yogjakarta), Kongres Bahasa Jawa IV (10-14 September 2006 di Semarang), dan Kongres Bahasa Jawa V (tahun 2011 di Surabaya).

Sedangkan tujuannya, kata dia, untuk merumuskan, menggali, memelihara, dan mengembangkan bahasa daerah yang ada di Nusantara sebagai aset kebudayaan Indonesia. Selain itu, KBDN diharapkan bisa memelihara, mengembangkan dan melestarikan bahasa daerah sejajar dan setara dengan bahasa nasional.

"Agar, bahasa daerah bukan hanya sebagai pemerkaya bahasa nasional melainkan sebagai pemerkaya bangsa Indonesia," katanya.

Indonesia, kata dia, merupakan negara yang memiliki bahasa daerah (bahasa ibu) terbanyak di dunia. Berdasarkan catatan LIPI, ada 726 bahasa daérah (versi UNESCO 640 bahasa daerah) di Indonesia. Sebagaian besar, hanya memiliki jumlah penutur 1.000 sampai 5.000 orang sehingga terancam punah.

"Bahasa daerah yang masih digunakan, berada dalam kondisi yang tidak sehat," katanya.

Selain mulai ditinggalkan oleh generasi muda, kata dia, bahasa-bahasa tersebut sulit untuk mengikuti perkembangan zaman. Di antara penyebabnya adalah pengaruh dari bahasa lain, serta peran orang tua yang tidak mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya sebagai bahasa sehari-hari. Dari 726 daerah d Indonesia, hanya 10 persen yang akan bisa bertahan.

Penyebabnya, kata dia, bahasa-bahasa itu semakin jarang dipergunakan. Khususnya, bahasa-bahasa yang digunakan oleh para penutur yang tinggal di Indonesia bagian timur.

Ada kecenderungan bahwa bahasa daerah sebatas digunakan untuk menyampaikan hal yang kurang serius. Padahal, bahasa daerah seharusnya menjadi sumber pembentukan jatidiri dan pembangunan karakter bangsa.

"Sebagian besar bahasa daerah tampak tak berdaya," katanya.

Setiap bahasa ibu di Indonesia, kata dia, memiliki permasalahan yang sama. Yakni, merasakan kemunduran, sulit mengimbangi perkembangan zaman, dan serangan kosakata dari bahasa nasional dan asing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement