REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesaksian dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) terkait terpidana mati kasus narkoba, Freddy Budiman dinilai kurang kuat untuk menjadi petunjuk penyelidikan.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji mengatakan, kesaksian yang dituturkan juru bicara Kontras, Haris Azhar perlu diperkaya dengan data. Sehingga, lanjut mantan pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK itu, kepolisian dapat menjadikannya pintu masuk untuk menguak lebih jauh adanya dugaan tindak pidana.
“Jauh lebih baik Kontras memberikan data-data yang dapat digunakan sebagai awal pendalaman pemeriksaan dari APH (aparat penegak hukum). Tanpa data yang berlegitimasi atau hanya sekadar non-legal evidence, tidak mungkin menindaklanjuti kasus ini,” tulis Indriyanto Seno Adji dalam pesan singkatnya, Senin (1/8).
Sebelumnya Kontras mengumumkan keberatannya akan pemberlakuan hukuman mati, termasuk yang ditujukan terhadap bandar pengedar narkoba. Lantas sejak Jumat (29/7) lalu, beredar tulisan yang dibuat Haris Azhar dengan judul “Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014).”
Di sana, Haris Azhar antara lain menjelaskan, Freddy mengaku bersedia menguak siapa saja yang selama ini mendapatkan aliran uang suap untuk memuluskan peredaran narkoba. Haris juga mengutip apa yang menurutnya sebagai pernyataan Freddy, bandar yang pada Jumat (29/7) dini hari telah dieksekusi mati.
“Dalam hitungan saya (Freddy Budiman –Red), selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang (Rp) 450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih (Rp) 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba.”