REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Tujuh aktivis anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Kabupaten Cilacap menggelar aksi menuntut pemerintah agar membatalkan pelaksanaan hukuman mati terhadap Merry Utami. Aksi digelar di jalan masuk menuju dermaga Wijayapura Kabupaten Cilacap yang menjadi dermaga penyeberangan resmi ke Nusakambangan, Kamis (28/7).
Namun aksi tersebut tidak berlangsung lama. Di tengah aksi berlangsung, tiba-tiba mobil polisi dari jenis Toyota Kijang langsung masuk ke kekerumunan peserta aksi. Tanpa banyak bicara, petugas langsung memasukkan mereka ke dalam mobil.
Upaya peringkusan secara tiba-tiba tersebut tidak langsung bisa mengangkut semua aktivis ke dalam mobil, sehingga ada dua peserta aksi yang lolos dan terus menggelar orasi. Mengetahui hal itu, anggota polwan berusaha meringkus dan membawa mereka ke mobil kedua yang disiapkan.
Sempat terjadi kericuhan karena kedua peserta aksi tersebut mencoba bertahan enggan dimasukkan ke dalam mobil. Namun setelah beberapa anggota kepolosian ikut turun, akhirnya keduanya bisa dimasukkan ke dalam mobil.
Sebelum berhasil diringkus, demonstran dalam aksinya sempat membentangkan berbagai spanduk dan menggelar mimbar bebas. Spanduk yang dibentangkan, antara lain bertuliskan 'Merry Utami Bukan Pengedar, Tapi Korban', 'Eksekusi Gembongnya, Bukan Korbannya', 'Save Merry utami' dan tulisan 'Merry adalah Korban sehingga Harus Dilindungi, Bukan Dieksekusi'.
Anggota KPI Cilacap, Muji, dalam orasinya juga menegaskan berulang kali Merry Utami adalah korban. Dengan status sebagai korban, mestinya Merry harus dilindungi negara. Bukannya malah dieksekusi. ''Untuk itu pemerintah harus membatalkan eksekusi terhadap Merry Utami,'' katanya.
Merry Utami adalah satu-satunya terpidana mati perempuan dari 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pada dalam eksekusi mati tahap III. Merry Utama ditangkap aparat pada 2001 di Bandara Soekarno Hatta karena kedapatan membawa narkotika jenis heroin sebanyak 1,1 kg.
Dalam kasus tersebut, Pengadilan Negeri Tangerang yang menyidangkan kasusnya pada 2003, akhirnya menvonis hukuman mati. Pada 2006, kuasa hukum Merry juga mengajukan kasasi. Namun putusan kasasi memperkuat putusan sebelumnya. Demikian juga pada Maret 2016, Merry mengajukan PK, namun kembali ditolak MA.
Dalam kasus yang dituduhkan terhadap Merry Utami, berbagai pihak menilai yang bersangkutan hanya sebagai korban. Terlebih dengan latar belakang bersangkutan yang sebagai seorang buruh migran. Dia dinilai hanya menjadi alat oleh gembong dan sindikat narkoba internasional yang hingga kini belum teruangkap.
(Baca Juga: Surat Penyesalan Terpidana Mati Merry Utami untuk Jokowi)