Sabtu 23 Jul 2016 12:53 WIB

Tax Amnesty Disebut Merusak Prinsip Negara

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ilham
tax aamnesty.ilustrasi
Foto: tribune.com.pk
tax aamnesty.ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Satu Keadailan (YSK), Sugeng Teguh Santoso menyatakan, dirinya tak keberatan Pemerintah menerbitkan UU Pengampunan Pajak atau Tax Amneaty untuk menambah pendapatan negara. Hanya saja, ada beberapa pasal yang berpotensi mereduksi prinsip negara hukum dan bahkan bisa saja mempermudah tindak pidana pencucian uang.

"Sebagai satu kebijakan pemerintah, Tax Amnesty its ok. Tapi jangan mengubah prinsip-prinsip negara kita sebagai negara hukum," kata Sugeng dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (23/7).

Permasalahan yang jelas terlihat, menurut Sugeng, berada dalam pasal 20 UU Pengampunan Pajak. Pasal tersebut mengatur agar data dan informasi mengenai wajib pajak yang ikut kebijakan tersebut tidak diusut atau digunakan dalam mengungkap kasus pidana lainnya.

Artinya, penegak hukum tak dapat menggunakan data tersebut untuk memeriksa kasus kejahatan pidana yang akan atau sedang mereka selidiki. Padahal, informasi tersebut akan sangat dibutuhkan penegak hukum untuk menyelidiki aliran dana yang bermasalah tadi.

"Mereka akan menguikuti aliran uang, karena dokumen data dan informasi, menjadi alat bukti. Jadi, sejago apapun penyidik tidak akan bisa bekerja karena terganjal pasal 20," kata Sugeng.

Dalam pasal 20 UU Pengampunan Pajak disebutkan, data dan informasi yang bersumber dari surat pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan denngan pelaksanaan UU ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement