Rabu 06 Jul 2016 14:24 WIB

Warga Yogyakarta Antusias Ikuti Tradisi Syawalan

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Achmad Syalaby
  Umat Muslim melakukan shalat Idul Fitri 1437 H di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang, Rabu (6/7). (Republika/Wihdan)
Umat Muslim melakukan shalat Idul Fitri 1437 H di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang, Rabu (6/7). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriyah menjadi momen  berharga bagi umat Islam seluruh dunia. Termasuk bagi Muslim di Yogyakarta. Pada hari spesial ini, masyarakat melakukan berbagai serangkaian kegiatan, di antaranya Shalat Ied berjamaah, dan Syawalan.

Syawalan atau yang lebih dikenal dengan Halal Bihalal merupakan tradisi turun termurun yang telah berlangsung di tengah-tengah penduduk DIY. Agenda ini biasanya akan berlangsung selama tiga hari atau satu pekan selama Idul Fitri. 

Hari pertama Lebaran, biasanya Syawalan dilakukan dengan mengelilingi rumah-rumah tetangga, sambil bersalaman dan saling meminta maaf. Setiap rumah tentu saja menyajikan makanan dan cemilan khas Lebaran, seperti kue nastar, ketupat, opor ayam, sayur brongkos, sampai krecek. Para tamu pun bisa mencicipi hidangan tersebut satu per satu. 

Aktivitas saling mengunjungi rumah tetangga ini dilakukan bersama-sama keluarga. Seperti halnya keluarga Yani (30 tahun). Setelah Shalat Ied, ia pergi ke rumah tetangga bersama suami, anak, adik, dan ibunya. “Setiap tahun memang selalu Syawalan. Apalagi kan sekarang ada adik dari Bekasi yang baru pulang. Ya jadi diajak sekalian untuk silaturahim,” kata perempuan yang tinggal di Terban, Gondokusuman, Kota Yogyakarta itu pada Republika.co.id, Rabu (6/7). 

Selain mengeilingi rumah tetangga, ada pula masyarakat yang melangsungkan Syawalan di mushala atau masjid. Misalnya di Sagan, Gondokusuman, Kota Yogyakarata. Usai melaksanakan Shalat Ied di Lapangan SMPN 1 Negeri Yogyakarta, masyarakat tidak langsung pulang ke rumahnya masing-masing.

Mereka berkumpul terlebih dulu di mushala dan masjid kampung. Di tempat ibadah itulah, warga masyarakat saling bersalaman dan meminta maaf. Warga Sagan, Purnawati (35) mengatakan, sejak dulu Syawalan di kampungnya memang dipusatkan di mushala terlebih dulu. 

Namun menurutnya, setelah itu biasanya masyarakat masih melanjutkan agenda Syawalan dengan berkeliling ke rumah tetangga. “Ya mumpung saudara yang dari luar daerah semuanya pulang ke Yogyakarta, jadi kita keliling-keliling begini,” tuturnya menjelaskan.

Meski demikian, ternyata tradisi Syawalan tidak selesai sampai di lingkungan perkampungan saja. Pada hari kedua atau ketiga Lebaran, masyarakat Yogyakarta biasanya menggelar reuni keluarga yang dikenal dengan kumpul trah.

Sugiono (63) menuturkan, lokasi kumpul trah di keluarganya ditetapkan secara bergiliran. Jika tahun lalu tempat tinggalnya di Terban dipilih sebagai tuan rumah, saat ini kumpul trah akan di laksanakan di Bantul. “Nanti yang kumpul itu saudara dari mana-mana. Ada yang dari Wonosari, Yogyakarta, Bantul, dan luar daerah juga,” katanya.

Ia menyampaikan, tentu saja ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk bisa berkumpul dengan keluarga besar, seperti waktu dan ongkos perjalanan. Namun kegiatan silaturahim ini dipandang penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Belum lagi, agenda seperti ini hanya berlangsung sekali dalam setahun. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement