REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengomentari kunjungan Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri ke Natuna dan melakukan rapat terbatas menunjukkan ketegasan pemerintah Indonesia terhadap klaim pemerintah China.
Hikmanto menilai, pesan yang hendak disampaikan pemerintah Indonesia adalah agar Cina tidak bermain api dengan Indonesia di wilayah Natuna.
"Klaim Cina atas Traditional Fishing Ground yang didasarkan Sembilan Garis Putus sama saja dengan menafikan keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia," katanya, Kamis (22/6).
Hikmanto menjelaskan konsep ZEE Indonesia didasarkan pada hukum internasional dan UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea). Justru Traditional Fishing Ground dan Sembilan Garis Putus tidak dikenal dalam hukum internasional dan UNCLOS.
Menurutnya instruksi Presiden kepada Menteri KKP dan Menteri ESDM agar negara hadir di ZEE dan Landas Kontinen sudah tepat. Tujuannya, tambah Hikmanto, agar nelayan dan pelaku usaha lebih intens melakukan eksploitasi kekayaan alam di zona maritim tersebut.
Ia menambahkan Menteri Luar Negeri juga harus terus membuat protes atas penangkapan ikan yang ilegal di ZEE Indonesia. Hikmanto mengatakan ada kesan para nelayan China difasilitasi untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk pengerahan kapal-kapal penjaga pantai yang melebihi laut teritorial China.
Disamping itu, lanjut Hikmanto, Menlu dapat menyampaikan pesan kepada pemerintah China apabila mereka terus mendorong para nelayannya untuk melakukan penangkapan ikan tanpa izin dari pemerintah Indonesia.
"Maka Indonesia akan mengevaluasi posisi Indonesia sebagai mediator yang jujur dalam konflik kepulauam di Laut China Selatan," katanya.