Kamis 23 Jun 2016 06:35 WIB

Guru-Ortu Perlu Terapkan Pendekatan Emosional pada Anak

Anak mulai mengidentifikasi gendernya lewat respons orangtua yang tepat.
Foto: Republika/Prayogi
Anak mulai mengidentifikasi gendernya lewat respons orangtua yang tepat.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengimbau para guru dan orang tua untuk menerapkan pendekatan emosional kepada anak sebagai upaya untuk mencegah kenakalan remaja yang marak terjadi akhir-akhir ini.

"Ini gerakan bersama. Anak-anak kita bukan hanya dibekali intelektual saja. Kalau itu saja, mereka bisa menjadi orang yang jahat. Harus diberi kasih sayang dan juga empati. Ini penting untuk membentuk karakter anak," ujar Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kepada 300 guru SMP se-Surabaya di acara Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak (GN-Aksa) yang digelar di Pemkot Surabaya, Rabu (23/6).

Menurut dia, para guru, orang tua, lurah, hingga ketua Rukun Tetangga (RT) harus memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap tumbuh kembang anak-anak. Mulai di rumah, sekolah dan juga lingkungan tempat tinggal. Orang tua di rumah harus lebih sering berkomunikasi dengan anak. Begitu juga dengan para guru di sekolah.

Ia mengatakan tantangan dan godaan yang dihadapi oleh generasi sekarang, berbeda jauh dengan tantangan pada masa kecil para guru dan dan orang tuanya. Salah satu parameternya, kejadian yang mengarah pada kejahatan seksual maupun kasus trafficking anak, acapkali bermunculan di negeri ini.

"Banyak sekali godaannya anak-anak sekarang, tidak sama dengan kita dulu. Ada program televisi, gadget dan sebagainya. Ayo kita rangkul mereka. Kalau semua peduli, saya yakin anak-anak kita akan selamat dari semua godaan," katanya.

Menurut wali kota perempuan pertama di Kota Surabaya ini, kegiatan ini tidak berhenti sekali ini. Tetapi akan terus berlanjut dengan melibatkan orang tua, lurah, dan juga ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW).

Psikiater Nalini Muhdi yang juga hadir dalam acara tersebut, membenarkan bahwa situasi yang dihadapi anak-anak generasi sekarang, jauh lebih berat dibandingkan anak-anak zaman dulu.

Sehingga, lanjut dia, anak-anak seolah-olah kehilangan  kebahagiaannya dengan banyaknya kewajiban yang harus diselesaikan. Seharusnya, seperti di negara-negara maju, pengajaran anak sejak kecil, lebih ditekankan pada kognitifnya, yakni lebih mementingkan pada proses belajarnya ketimbang hasilnya.

"Di negara maju, guru pendidikan dasar itu justru profesor dan guru senior. Anak-anak diajari kognitif seperti diajak antre di tempat umum untuk menumbuhkan kesadaran agar sabar menunggu dan tidak mengambil hak orang lain atau juga menyeberang jalan di zebra cross," ujarnya.

Konsultan RSUD Dr Soetomo ini menekankan agar para orang tua dan para guru, mampu untuk memposisikan dirinya sebaga pendengar dari anak-anak. Bukan sebaliknya orang tua dan guru tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih tinggi dari anak.

"Kita dengar mereka. Sehingga kita tahu permasalahannya mereka. Sebagai guru, juga jangan menempatkan lebih tinggi. Karena anak-anak itu little professor, apa yang mereka sampaikan itu acapkali benar. Bahkan kadang lebih cerdas dari kita," kata dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement