Ia juga mewanti- wanti, kondisi kerawanan bencana longsor di daerah ini juga berpotensi terjadi di wilayah Kecamatan Sempor. Kecamatan ini masuk zona potensi terjadi gerakan tanah menengah hingga tinggi jika curah hujan di atas normal.
Terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Sedangkan longsor di wilayah Kabupaten Banjarnegara juga dipengaruhi bentang alam Desa Gumelem Kulon dan Dusun Wanarata yang berupa perbukitan bergelombang dengan lereng agak terjal hingga terjal dengan ketinggian lebih dari 500 meter di atas muka air laut.
"Batuan penyusun di dua desa itu adalah Anggota Breksi Formasi Halang yang teridri dari breksi dengan komponen andesit basal dan batu gamping, masa dasar batu pasir tufaan kasar bersisipan batupasir dan lava basal," jelasnya.
Selain itu, ia juga mengungkapkan, lokasi dua desa tersebut terletak pada zona potensi terjadi gerakan tanah menengah hingga tinggi. Curah hujan dan sifat tanah yang mudah luruh terkena air dan banyaknya volume air permukaan yang meresap ke dalam tanah melalui pori tanah akan meningkatkan beban pada lereng.
"Sehingga membuat lereng menjadi tidak stabil dan rawan terhadap longsor. Seperti musibah longsor yang terjadi di Banjarnegara," tambahnya.
Subandriyo juga menyampaikan, semua bencana pada dasarnya dapat dianalisa. Baginya, yang sulit dianalisa adalah karakter warga yang masih minim tanggap bencana.
Sebuah bencana bisa memiliki dampak sosial sangat besar, bila warga sekitar lokasi bencana buta tanggap bencana. Seperti warga yang justru mendekati lokasi longsor adalah bukti rendahnya kesadaran warga terhadap bencana tersebut.
"Sebenarnya, jika terjadi longsor jangan mendekati lokasi dulu untuk bersih- bersih. Selalu waspadai longsor susulan karena situasi saat itu masih sangat membahayakan," katanya.