REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri sudah membatalkan sekitar 3.143 peraturab daerah (Perda) yang dinilai masih bermasalah. Selain memakai pendekatan bertentangan dengan undang undang diatasnya, Perda-Perda yang dibatalkan tersebut dinilai menghambat pertumbuhan investasi.
Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Soni Sumarsono mengatakan dari 3.143 Perda yang dibatalkan sudah masuk semua ke Presiden. Dari jumlah tersebut sekitar 67,5 % Perda dinilai bisa menghambat investasi baik lokal maupun internasional.
Sedangkan 15% Perda dinilai bertentangan dengan undang undang yang ada diatasnya. 15% lainnya merupakan Perda yang mengarah pada diskriminatif. Sisanya, mencakup Perda-Perda yang dirasa tak perlu untuk diberlakukan karena sudah menjadi norma umum yang ada di masyarkat.
Sumarsono mengatakan, salah satu daerah yang memiliki banyak Perda bermasalah adalah Provinsi Jawa Timur. Sekitar 102 Perda dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan, wilayah Sulawesi Utara ada 47 Perda dan Jawa Barat ada 25 Perda.
Umumnya, setiap daerah di Indonesia ini memang memiliki Perda yang bermasalah, mulai dari indikator menghambat investasi hingga bertentangan dengan undang undang yang ada diatasnya.
"Menyebar di seluruh Indonesia hampir ada, namun revisi gak berhenti sampai disini. Berikutnya, akan tetap kita sisir sampai semua Perda-Perda yang bermasalah hilang semua. Ini ada beberapa faktor, mulai dari provinsi yang kurang cermat, atau pada saat pembuatan ada juga yang tak memperhatikan aturan yang sebelumya," ujarnya di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Selasa (14/6).
Selain itu, Sumarsono juga menjelaskan terkiat Perda-Perda yang dinilai masih mengandung sarat akan diskriminatif. Perda diskriminatif ini, dinilai Sumarsono memang sangat sensitif selain karena kultur daerah juga beberapa Perda memang dibuat karena desakan dari elemen masyarakat.
Sumarsono memisalkan, daerah Purwakarta, Tangerang dan yang sedang bermasalah saat ini Serang. Juga beberapa daerah yang memang mempunyai otonomi khusus seperti Aceh. Meski ia enggan mendetailkan secara rigid Perda seperti apa yang sarat akan diskriminatif.