Selasa 14 Jun 2016 01:51 WIB

Indonesia Dinilai tak Perlu Ratifikasi FCTC

Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).
Foto: ANTARA
Petani memetik daun tembakau bagian atas yang tersisa di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (1/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dirancang World Health Organization (WHO) dinilai sejumlah pihak bukan sesuatu yang penting. Sebab, guna mengatur pengendalian tembakau di Indonesia sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang lebih ketat.

“Jika diperhatikan beberapa ketentuan di dalam PP 109 sebenarnya lebih ketat dibandingkan dengan apa yang diatur dalam FCTC," kata Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dalam keterangannya, Senin (13/6).

Untuk itu, Hikmahanto menyarankan Pemerintah sebaiknya fokus dalam menerapkan dan menegakkan PP 109. "Tidak serta merta peraturan internasional lebih efektif dalam mengatur pengendalian tembakau,” ucap dia.

Menurut dia, pemerintah juga tidak perlu khawatir bila memutuskan untuk tidak meratifikasi FCTC. Sebab, bila itu terjadi negara ini bukanlah satu-satunya negara yang menolak kerangka aturan tersebut.

"Tapi kita hanya mengikuti langkah dari negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, dan Argentina," kata dia.

Kehadiran FCTC juga dinilai dapat menyebabkan timbulnya kartel-kartel pertembakauan, karena sebenarnya kerangka acuan ini tidak ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok di suatu negara. FCTC sebagaimana diungkap dalam mukadimahnya bertujuan untuk (mengendalikan) produksi tembakau, yang dimulai dari hulu atau pertanian tembakau sampai dengan produk jadi atau rokoknya.

“Pengendalian produksi tembakau cenderung memunculkan kartel. Ini mengingat kuota tembakau yang dapat dihasilkan di suatu negara akan diatur," ujar Hikmahanto.

Bila di suatu negara jumlah perokok tidak sebanding dengan produksi tembakau yang dihasilkan, menurut dia, ini akan berakibat pada negara tersebut mengimpor daun tembakau atau rokok yang telah jadi. "Bagi Indonesia ini merepotkan bila jumlah perokok tidak mampu ditekan namun produksi daun tembakau berdasarkan FCTC telah dikurangi secara signifikan,” kata Hikmahanto menerangkan.

Sekjen Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI, Budidoyo, Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berharap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menolak Framework Convention on Tobacco Control(FCTC) atau konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau. Ia berpendapat, aksesi FCTC akan mengakibatkan dua juta petani tembakau akan kehilangan penghidupan yang layak karena FCTC mendorong negara anggotanya untuk menggantikan tembakau dengan tanaman lainnya.

Menurut dia, tembakau merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan sudah turun-temurun dibudidayakan di Indonesia. Tembakau merupakan tanaman yang sangat cocok pada iklim tropis seperti Indonesia.

Ia mengatakan aksesi FCTC juga bertentangan dengan produk hukum Indonesia, di antaranya UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani yang prinsipnya petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaan.

Selain itu juga bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis.

Sebelumnya lima asosiasi industri hasil tembakau (IHT) mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk menolak pemberlakuan FCTC di Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai hanya akan mematikan industri rokok nasional.

Lima asosiasi itu adalah Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI). Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (FORMASI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement