REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Banjir di daerah Baleendah, seperti di Cieunteung dan Andir, memang selalu terjadi secara tahunan. Bahkan, itu sudah menjadi agenda tahunan bagi warga. Banjir di wilayah tersebut pun seolah sudah menjadi budaya yang siap dihadapi masyarakat setempat.
Direktur Bidang Budaya dan Kearifan Lokal LPPM Universitas Kebangsaan, Garlika Martanegara menuturkan banjir yang sudah dianggap sebagai warga sebagai agenda tahunan ini perlu diwaspadai karena bisa menciptakan kebiasaan yang buruk di kalangan warga.
"Karena banjir di sana sudah bukan sebagai bencana lagi tapi justru sebagai agenda rutin tahunan, dan warga sudah tahu itu," kata dia, belum lama ini.
Seringnya banjir di Baleendah tersebut tentu bisa berdampak pada kebiasaan masyarakat setempat. Masyarakat pun menyambut "agenda tahunan" itu dengan kebiasaan yang buruk. Misalnya, tidak sedikit orang tua di sana yang membiarkan anak-anaknya bermain di genangan banjir. Padahal, air itu jelas kotor dan bisa menyebabkan penyakit diare.
Garlika menambahkan, kebiasaan yang buruk tidak hanya dalam hal kesehatan, tapi juga dalam berperilaku. Banjir yang sudah dianggap seperti agenda tahunan ini malah bisa mengubah perilaku sosial di kalangan masyarakat setempat.
Contoh, karena merasa sudah tidak berdaya, mereka akhirnya memilih untuk meminta-minta uang di pinggir jalan raya. Bahkan, yang lebih berbahaya, mereka jadi mempunyai mental sebagai penerima, bukan sebagai pemberi.
Apalagi, warga setempat juga meyakini bantuan bakal datang seiring terjadinya banjir. "Mereka jadi berharap datangnya bantuan yang selalu ada tiap tahunnya," ujar dia. Dalam kondisi demikian, banjir bukan lagi dipersepsikan sebagai sebuah bencana, melainkan sebagai ajang untuk meraup keuntungan.
Di sisi lain, lanjut Garlika, penanganan yang dibuat pemerintah, tidak sampai ke akar permasalahan. Kerap kali penanganan banjir di Baleendah dan sekitarnya oleh pemerintah itu hanya berupa pendirian posko banjir, evakuasi, dan penetapan status tanggap darurat.
"Penanganannya tidak sampai ke akar masalah," ujar dia.
Garlika juga mempertanyakan ketegasan pemkab Bandung dalam menangani banjir di Baleendah. Selalu saja, lanjut dia, pemkab menyebut akar masalah banjir itu karena banyaknya sampah. Tapi di sisi lain, tidak ada penegakan hukum untuk menindak mereka yang membuang sampah sembarangan.
Menurut dia, seharusnya pemkab melakukan penegakan hukum terlebih dulu, barulah kemudian melakukan sosialisasi. "Selama ini kan pemda selalu mengutamakan sosialiasasi agar terus digencarkan, justru sebaliknya, penegakan hukum dulu," kata dia.
Kalau sekadar sosialisasi, menurut Garlika, masyarakat tidak akan menurutinya. Masyarakat akan menurut jika ada efek jera yang ditimbulkan. Hanya, masalahnya, perlu keberanian dari pemkab untuk menegakan hukum itu.
"Pemaksaan memang harus ada dalam penegakan aturan, barulah setelah itu ada pemberian pemahaman," kata dia.
Garlika juga mengakui, persoalan banjir di Baleendah dan sekitarnya memang tidak bisa disalahkan ke satu pihak karena itu merupakan kesalahan kolektif sejak puluhan tahun lalu. Selama belum ada kesadaran massal juga, maka tentu persoalan tersebut sulit diselesaikan.
Sementara itu, Anggota DPRD Kabupaten Bandung Dadang Supriatna meminta kepada Pemkab Bandung untuk segera menuntaskan persoalan banjir sampai ke akar-akarnya. Sebab, jika tidak, akan terjadi persoalan baru yang ditimbulkan, yakni masalah sosial.
"Apalagi ini bulan puasa. Kasihan ke warga, ibadah mereka jadi enggak khusyu dan malah fokus ke banjir, bukan ke ibadah," ujar dia. (Umar Mukhtar) Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT