Sabtu 04 Jun 2016 05:18 WIB

Mayoritas Pemda Habiskan Hampir 60 Persen APBD untuk Belanja Pegawai

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Bayu Hermawan
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Otda Kemendagri), Sumarsono mengungkapkan sebagian besar pemerintah daerah (Pemda) menghabiskan mayoritas anggarannya untuk belanja pegawai.

Ia mengatakan, akibatnya Pemda harus melakukan efisiensi anggaran dan efektifitas bekerja untuk mengurangi postur anggaran yang tidak produktif tersebut.

''Sekarang semua daerah, hampir belanja birokrasi, operasional untuk aparatur itu lebih besar dari belanja modal. Perbandingannya 60 persen sampai 40 persen, ada juga yang 55 persen sampai 45 persen,'' katanya saat dihubungi, Jumat (3/6).

Namun demikian, Sumarsono mengakui ada juga daerah yang postur anggarannya terbalik, yaitu lebih besar belanja modal daripada belanja pegawai, tapi jumlahnya sangat sedikit. Secara umum, Sumarsono mengungkapkan postur anggaran belanja untuk birokrasi lebih besar dari belanja modal.

Sehingga, pemerintah pusat meminta daerah melakukan perampingan dan penataan ulang struktur organisasi pemerintah daerah, termasuk sistem pekerjaannya. Hal tersebut agar belanja birokrasi bisa lebih efisien.

''Idealnya 40 persen untuk belanja pegawai, 60 untuk belanja modal. Lebih baik lagi bisa 70 persen untuk belanja modal dan 30 birokrasi,'' ujarnya.

Menurutnya rasionalisasi PNS yang direncanakan oleh MenPAN-RB bukanlah pengurangan PNS. Ia menjelaskan rasionalisasi yang dimaksud, menurut versi Kemendagri adalah merasionalkan dan mengoptimalisasi organisasi, agar bisa bekerja lebih efisien dan profesional.

Ia mencontohkan, kalau pekerjaan bisa selesai dalam lima hari, mengapa harus satu bulan. Lalu jika pekerjaan bisa selesai sore hari kenapa harus lembur. Dan kalau hanya konsultasi bisa dilakukan secara online, tidak perlu keluar kota ataupun keluar negeri.

''Itulah yang saya katakan optimalisasi, baik melalui kelembagaan maupun kepada personil, dalam konteks kapasitas dan sistem. Jadi tidak berarti rasionalisasi adalah pemecatan PNS,'' jelasnya.

Jika MenPAN mengatakan PNS di Indonesia sudah terlalu banyak, ia tidak sependapat. Sebab, di berbagai daerah terutama perbatasan justru kekurangan SDM. Bayangkan saja, satu pos penjagaan imigrasi cuma dijaga dua orang.

Selain itu soal guru, kalau memang PNS sudah banyak kenapa masih dibutuhkan tenaga honorer. Kalau itu dilakukan karena memang negara kekurangan SDM. Kalau tidak mengundang guru honorer, tidak mungkin bisa menangani persoalan guru dengan baik.

''Makanya assesmentnya harus sampai kesana. Dengan zero recuitmen, pasti jumlahnya kurang. Mungkin MenPAN punya standar tinggi, tapi belum masuk perhitungan daerah,'' jelasnya.

Penempatan PNS, lanjut dia, juga harus proporsional dan disertai dengan fakta-fakta, terutama daerah perbatasan, terpencil, dan tertinggal. Sebab, persoalan sebenarnya adalah ketidakseimbangan distribusi pegawai antara di daerah dan kota besar. Yang terjadi, PNS saat ini hanya menumpuk di kota besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement