REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran Detasemen Khusus (Densus) 88 diposisikan untuk melakukan penanganan terorisme. Sayangnya, penindakan yang dilakukan kerap menuai kontroversi karena diduga dipenuhi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Komisioner Komnas HAM, Hafid Abbas, mengingatkan saran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal pentingya lembaga independen sebagai pengawas penanganan terorisme. Maka itu, ia meminta revisi UU Antiterorisme yang tengah bergulir, dapat menghadirkan lembaga independen untuk mengawasi penindakan Densus 88.
"Tidak bisa (Densus 88) jadi lembaga pencabut nyawa," kata Hafid, Senin (30/5).
Hal itu ia sampaikan saat menjadi salah satu pembicara dalam sebuah diskusi bertema Mengawal Revisi UU Antiterorisme, yang digelar di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hafid berharap UU Antiterorisme yang baru, benar-benar berisikan langkah penanganan terorisme yang efektif, tanpa perlu ada pelanggaran HAM dilakukan.
Ia menekankan penindakan terhadap siapapun yang terduga teroris, dilakukan dengan penghormatan dan wajib sesuai azas hukum yang sudah diatur dan berlaku di Indonesia. Selain itu, terduga teroris harus bisa mendapat peluang bantuan hukum dan proteksi, salah satunya tentang keberadaannya yang diketahui jelas.
Hafid mengaku khawatir dugaan-dugaan terorisme yang ada di Indonesia, merupakan wujud kekhawatiran yang sejak dulu ada tentang isu terorisme yang merupakan proyek penghancuran Islam. Untuk itu, ia berpesan kepada siapapun yang berwenang dalam penanganan terorisme, agar tidak menghancurkan Islam menggunakan nama terorisme.