REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin berharap mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan mantan Direktur Keuangan Permai Grup Yulianis, dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) seperti yang disangkakan KPK kepada dirinya.
"Kami meminta agar majelis hakim memerintahkan KPK untuk memeriksa dan menetapkan Anas Urbaningrum dan Yulianis juga sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang ditetapkan kepada terdakwa," kata pengacara Nazaruddin, Andriko Saputra dalam sidang pembacaan pledoi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (25/5).
Anas sedang menjalani masa pidana berdasarkan putusan kasasi dalam perkara tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan pencucian uang yaitu selama 14 tahun penjara.
"Terdakwa bukan orang nomor satu di perusahaa dan hanya melakukan perintah dari Anas Urbaningrum selaku pemilik permai grup dan Yulianis adalah orang yang sangat bertanggung jawab terhadap transaksi keuangan Permai Grup," jelasnya.
Menurutnya, kedua orang tersebutlah yang menggunakan secara pribadi baik untuk kepentingan pribadi atau pun politik fasilitas dan keuntungan Anugerah dan Permai grup.
"Terdakwa hanya mengetahui pemasukan dan pengeluaran kas perusahaan terdakwa, tidak langsung bisa mengeluarkan uang sebelum ada izin dari bos atau pengendali yaitu Anas Urbaningrum," ujarnya.
Sehingga menurut Nazar, seluruh pembelian aset yang dilakukan oleh perusahaan yang tergabung dalam Anugrah dan Permai Grup dilakukaan oleh Anas, sementara pembelian aset-aset untuk karyawan dilakukan oleh Yulianis.
"Yulianis yang menjabat direktur keuangan diketahui merupakan saudara dekat Anas Urbaningrum dan itu dibuktikan dengan ditemukan Rp4,2 miliar di rumah Yulianis saat KPK melakukan penggeledahan," jelas Andriko.
Andriko mengklaim bahwa kliennya pun tidak pernah menggunakan uang untuk kepentingan pribadi dan harta-hartanya diperoleh sebelum menjadi anggota DPR dengan cara yang sah.
"PT PP (Pembangunan Perumahan), Waskita Karya dan BUMN lain pernah memberikan fee sepanjang 2009 dan 2010 tapi uang tersebut digunakan untuk persiapan pemenangan Mas Anas untuk jadi caketum Partai Demokrat," kata Nazar.
"Anggaran habis dipakai kurang lebih Rp296 miliar dan itu sudah terungkap di fakta persidangan waktu Mas Anas menjadi terdakwa dan kasus tersebut sudah menjadi kekuatan hukum tetap," ujarnya.
Dalam pledoi tersebut, Nazaruddin juga meminta agar hakim mengembalikan sejumlah hartanya yang menurut Nazar diperoleh sebelum ia menjabat sebagai anggota DPR.
Dalam perkara ini Nazaruddin dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan ditambah dengan perampasan aset hingga sekitar Rp600 miliar karena melakukan tindak pidana korupsi yaitu menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya dari sejumlah proyek pemerintah pada 2010.
Nazar juga disangkakang telah melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 serta Rp283,6 miliar pada periode 2009-2010. Sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 9 Juni 2016.