Sabtu 21 May 2016 10:20 WIB

Menimbang Hukuman Mati bagi Pemerkosa

Red: M Akbar
Hukuman Mati..(ilustrasi)
Foto:

Artinya, tidak ada yang "masuk angin" dalam perjalanan setiap jenjang tersebut. Tidak ada manipulasi pasal, atau manipulasi proses, atau bahkan tidak boleh adanya intervensi dari salahsatu yang berperkara kepada Kepolisian, Kejaksaan hingga Pengadilan. Semua on the track, dan hasil dari kredibilitas ini, masyarakat akhirnya dapat mempercayai para penegak hukum. Hukum menjadi Panglima.

Bagi yang paham praktek penegakan hukum di Indonesia, jelas ini langkah yang berat. Kedua, dengan menunjukkan penegakan hukum akhir secara terbuka. Ini terutama dilakukan terhadap pelaku yang dipidana hukuman mati. Jika memang vonis terhadap para terdakwa adalah dengan pidana mati maka proses hukuman mati ini dilaksanakan secara terbuka di tengah masyarakat dan jika perlu dilakukan publikasi meluas melalui media massa.

Dengan melakukan eksekusi mati terbuka maka harapan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya terpenuhi (karena kematian pelaku). Lalu harapan agar orang lain tidak meniru perbuatan yang sama, juga dapat terpenuhi. Logikanya, eksekusi mati secara terbuka akan menyebabkan masyarakat ketakutan meniru perbuatan serupa, setelah melihat proses pemidanaan tersebut.

Ini jelas berbeda jika pelaksanaan eksekusi mati dilakukan tertutup seperti yang selama ini dilakukan di Indonesia. Masyarakat hanya disuguhi berita landai bahwa eksekusi mati telah dilaksanakan dengan lancar dan tidak ada gambaran apapun bagi masyarakat, kecuali sedikit informasi kematian terpidana.

Sayangnya, mental aparat hukum di berbagai negara yang melaksanakan hukuman mati, termasuk Indonesia, kalau boleh saya katakan, jauh dari yang diharapkan. Banyaknya oknum penegak hukum yang justru melanggar hukum misalnya tertangkap karena kasus asusila (pemerkosaan), kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan senpi, narkoba, perampokan bank, dan kejahatan lainnya, menyebabkan harapan untuk menunaikan tugas dalam proses hukuman apapun termasuk hukuman mati, menjadi kurang meyakinkan.

Jangankan di Indonesia. Di Amerika sendiri, juga punya catatan hitam, terkait banyaknya orang yang terlanjur dieksekusi mati, meski kemudian dinyatakan tidak bersalah di kemudian hari. Oleh karenanya, Ernest Bowen Rowlands dalam bukunya Jugdment Of Death (1924) menyebut bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki (lagi, pen) jika seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan kepada yang dipidana mati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement