REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai bisa turut berperan untuk mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kemendikbud dapat menambah jam belajar anak-anak di sekolah.
Ketua Bidang Proefsionalitas Tenaga Kerja Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Bimo Sasongko mengatakan kekerasan seksual terhadap anak banyak terjadi di daerah yang jam belajar di sekolahnya hanya sampai pukul 12.00.
Dia mendorong jam belajar tersebut diperpanjang hingga pukul 17.00. Dengan begitu, anak akan menghabiskan waktunya di sekolah dan mengurangi kemungkinan anak melakukan hal negatif.
"Untuk meminimalisir kegiatan mubazir, Kemendikbud harus turun tangan maksimalkan jam belajar," ujarnya saat konferensi pers di Jakarta, (19/5).
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum ICMI Sri Astuti Buchari. Penambahan jam belajar akan membuat anak lelah untuk melakukan hal-hal yang mubazir.
Pasalnya apabila jam belajar sekolah ditambah, maka sisa waktu yang ada akan dipergunakan anak dengan sebaik-baiknya, misalnya untuk istirahat (tidur), makan, dan mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
"Ini sangat penting. Kami mendesak Kemendikbud, bagaimana anak-anak supaya bisa belajar, mengerjakan PR, agar tidak keluyuran," kata Sri.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia kian memprihatinkan. Kini, pelaku tidak hanya terbatas pada mereka yang sudah dewasa, namun juga meluas ke kategori anak-anak. Contohnya kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Yy (14) di Bengkulu.
Pelakunya berjumlah 14 orang, dimana tujuh orang diantaranya berusia anak-anak. Untuk itu, ICMI mendesak penambahan jam belajar agar anak-anak lebih terfokus pada kegiatan belajar dibanding melakukan hal-hal tidak bermanfaat seperti bermain gim daring, menyaksikan tayangan dewasa, atau sekadar nongkrong-nongkrong bersama orang yang usianya lebih tua dari mereka.
Hal-hal ini dikhawatirkan akan berdampak buruk ke anak. Penambahan jam belajar ini lebih baik dilakukan pada daerah-daerah yang jam belajarnya cukup singkat.