Senin 16 May 2016 19:53 WIB

KPK Cegah Ajudan Sekretaris MA ke Luar Negeri

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Seorang jurnalis mendokumentasikan rumah mewah milik Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi usai digeledah KPK di Jalan Hang Lengkir V, No 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (21/4).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Seorang jurnalis mendokumentasikan rumah mewah milik Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi usai digeledah KPK di Jalan Hang Lengkir V, No 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (21/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengajukan surat pencegahan kepada Dirjen Imigrasi terhadap Royani, yang disebut-sebut sebagai sopir dan sekaligus ajudan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi.

Pencegahan itu dilakukan guna kepentingan penyidikan kasus dugaan suap penanganan perkara peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"KPK telah mengajukan surat permintaan cegah terhadap Royani (ke Direktorat Jenderal Imigrasi)," kata Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati ketika dikonfirmasi, Senin (16/5).

Surat pencegahan diajukan sejak 4 Mei 2016 dan berlaku selama enam bulan ke depan, sehingga jika keterangannya diperlukan, yang bersangkutan tidak sedang berpergian ke luar negeri.

Adapun Royani, telah dua kali dipanggil penyidik KPK pada 29 April 2016 dan 2 Mei 2016. Akan tetapi, dalam pemanggilan tersebut Royani tidak sekalipun pernah hadir dan tanpa keterangan atau alasan.

Atas hal ini, Royani diduga sengaja disembunyikan lantaran disebut sebagai saksi penting dalam kasus dugaan suap pengamanan pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Lantaran itu, penyidik KPK juga saat ini tengah mencari keberadaan jejak Royani, termasuk kemungkinan rencana penjemputan paksa terhadap Royani.

Penjemputan paksa itu diperlukan, karena Royani diduga menjadi salah satu saksi penting untuk mengungkap kasus ini. Termasuk mengungkap dugaan keterlibatan Nurhadi.‎ "Iya (saksi penting)," ujar Yuyuk.

Dalam kasus suap PN Jakpus, diketahui KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu (20/4) lalu. Keduanya, yakni Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, dan seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.

Dari operasi itu, KPK menemukan uang Rp 50 juta dalam bentuk pecahan Rp 100 ribu yang ditengarai sebagai uang 'pelicin' terkait pendaftaran atau pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat.

KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1‎ KUHP.

Tak sampai disitu, KPK juga sampai menggeledah ruang kerja dan kediamaan pribadi Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi yang diduga terkait kasus tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement