Senin 16 May 2016 18:08 WIB

Pakar: Manuver Luhut Sudah tidak Bisa Ditoleransi

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Peserta Munaslub mengikuti sidang Paripurna Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 di Nusa Dua, Bali, Ahad (15/5).  (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Peserta Munaslub mengikuti sidang Paripurna Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 di Nusa Dua, Bali, Ahad (15/5). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Pakar politik dari Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit menilai manuver Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan sudah tidak bisa ditoleransi. Apalagi secara terang-terangan dia mendukung Setya Novanto untuk jadi Ketua Umum Partai Golkar yang notabene pernah mencatut nama Presiden Jokowi dalam kasus 'papa minta saham'.

"Setya dan Luhut itu seperti lingkaran setan. Mereka saling melindungi satu sama lain. Setya lindungi Luhut di kasus 'papa minta saham' dan sekarang Setya minta didukung supaya jadi Ketua Umum Golkar," kata Arbi di Jakarta, Senin (16/5).

Dia juga menilai Luhut mendukung Setya agar memiliki kekuatan politik di lingkungan Istana karena selama ini anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar tersebut tidak memiliki partai yang bisa dikendalikan. Arbi pun meminta Presiden Jokowi tidak tinggal diam melihat menterinya bermanuver.

"Kalau alasan Luhut mendukung Setya karena dia adalah anggota Dewan Pertimbangan Golkar, harusnya dia mundur dari jabatan Menko Polhukam karena Presiden Jokowi menegaskan menteri tidak boleh masuk dalam struktur partai," ujarnya.

Menurut Arbi, Presiden Jokowi harus meminta Luhut memilih antara jabatan partai atau jabatan menteri. Sebab manuver Luhut semakin besar dan berpotensi merugikan dirinya. Dia menyebut kasus Luhut ini tidak cukup hanya dengan ditegur tapi harus masuk dalam prioritas reshuffle.

"Kesalahannya sudah terlalu banyak seperti diduga terlibat 'papa minta saham', Panama Papers, sampai rela-rela izin kerja hanya ingin memantau Munaslub Golkar," kata Arbi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement