REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan tindakan serba membiarkan oleh orang tua terhadap buah hatinya dapat memicu kerentanan anak menjadi korban kejahatan seksual.
"Maraknya kejahatan seksual dewasa ini perlu kewaspadaan orang tua. Banyak kesalahan orang tua yang berpotensi memicu anak menjadi korban kejahatan seksual," kata Susanto di Jakarta, Sabtu (14/5).
Dia mengatakan terdapat beberapa kesalahan orang tua, seperti tindakan membiarkan anak bermain dan berinteraksi dengan siapa pun dan di mana pun tanpa pantauan yang memadai. Salah berteman atau memilih komunitas membuat anak sangat rentan menjadi korban bahkan menjadi pelaku kejahatan seksual.
Kesalahan berikutnya, kata dia, orang tua kerap membiarkan anak berinteraksi dengan orang lain di waktu yang tidak lazim dan untuk tujuan yang tidak jelas. Tak sedikit orang tua yang membiarkan anak keluar malam untuk tujuan yang tidak logis serta tanpa kontrol yang cukup.
"Ini sangat berbahaya dan rentan menjadi korban kejahatan seksual," kata dia.
Selain itu, orang tua kerap membiarkan anak berkomunikasi via media sosial tanpa pantauan memadai. Tidak sedikit anak dijebak, dirayu, digoda, diiming-imingi oleh orang dikenal dan tak dikenal via media sosial untuk dijadikan obyek kejahatan seksual.
Orang tua, kata dia, juga terkadang membiarkan anak berjam-jam bermain internet tanpa kontrol dan pendampingan yang cukup. Menurut Susanto, internet memang positif, tapi jika kurang literasi menggunakan internet secara sehat sangat mungkin anak dengan bebas tanpa diketahui orang tua mengakses pornografi secara diam-diam.
"Jika merasa nyaman dengan pornografi, bisa adiksi dan menstimulasi anak melakukan adegan asusila tersebut. Bahkan dalam banyak kasus bisa menstimulasi anak menjadi pelaku kejahatan seksual," katanya.
Susanto mengatakan persoalan anak bertambah pelik ketika orang tua tidak menyediakan waktu, menyempatkan berkomunikasi dan berdialog dengan anak.
"Apalagi anak selalu mencari model. Jika orang tua jarang bertemu, tak berkomunikasi, tak ada waktu untuk anak, tidak menutup kemungkinan anak mencari figur lain yang belum tentu aman buat mereka. Kerentanan anak jadi korban, bisa jadi pelakunya dari figur pilihan anak akibat minimnya waktu bertemu dengan orang tua.