Ahad 01 May 2016 20:06 WIB

'Selembar Kertas' di Era Megawati Sulitkan Penuntasan Kasus BLBI

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Karta Raharja Ucu
Buronan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono memasuki mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/4). (Antara/Rivan Awal Lingga)
Foto: Antara/ Rivan Awal Lingga
Buronan perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono memasuki mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/4). (Antara/Rivan Awal Lingga)

REPUBLIKA.CO.ID, ‎JAKARTA -- Pemerintah pernah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pengusaha mendirikan bank pada 1988. Hanya dengan modal Rp 50 miliar, seorang pengusaha sudah mulai dan bisa mendirikan bank, entah dengan berbekal keahlian atau tidak.

Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung (Dirdik Kejagung) Khairul Imam mengatakan dalam perjalanannya mengingat kesempatan tersebut terbuka luas, maka banyak orang yang tidak mempunyai keahlian membuka bank dengan niat buruk. Di dunia perbankan, ada ketentuan bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pihak yang terafiliasi. Misalnya si A mempunyai perusahaan, maka bank miliknya tidak boleh memberikan kredit ke perusahaan tersebut.

Saat orang-orang berlomba mendirikan bank dan dana yang terkumpul dari masyarakat pun semakin banyak. Ketika terjadi krisis moneter, masyarakat khawatir akan kondisi yang terjadi.

Mereka pun menyerbu bank karena ingin mengambil uangnya. "Pas diserbu, ternyata uang mereka tidak likuid," kata Khairul di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Ahad (1/5).

Dalam Undang-Undang Perbankan dinyatakan para debitur harus dilindungi dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena itu, semua bank ditanya berapa kewajiban mereka pada pihak ketiga.

Kemudian pemerintah mengeluarkan bantuan likutidtas supaya bank-bank yang ada pada saat itu bisa berikan kewajibannya pada para nasabah. Uang masyarakat sudah kembali, tapi urusan negara dengan bank-bank belum selesai.

Harus ada kewajiban penggantian dari bank untuk negara. "Bank mesti memberi aset ke negara sebagai jaminan. Tentu aset itu harus paling tidak seharga dengan uang negara yang dipakai untuk membayar ke masyarakat. Kenyataannya tidak, banyak manipulasinya," kata Khairul.

Terjadi praktik manipulatif dan juga ada penggelembungan dari kewajiban untuk membayar. Akhirnya, ketika aset-aset bank dilelang, harganya paling tinggi hanya 20 persen dari uang yang diberikan negara ke masyarakat. Inilah yang kemudian menjadi beban.

Khairul menyebut ada unsur penipuan di dalam praktik tersebut. Kalau ada perbuatan melawan hukum, merugikan negara, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain maka bisa juga disebut korupsi.

Namun ternyata pada saat itu ada satu cara yang keluarkan oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri, yakni Master Settlement and Acquisition and Agreement (MSAA). MSAA adalah satu pernyataan dimana jika debitur mau membayar semua BLBI, maka pihak tersebut akan bebas dari tuntutan pidana.

Menurut Khairul, hal tersebut tidak tepat. Harusnya, pemerintah tetap mengusut kasut tersebut mengingat Indonesia adalah negara hukum. "Akhirnya gugur karena selembar kertas MSAA. Ini yang merupakan ganjaran yuridis sehingga banyak yang tidak tuntas," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement