REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat, mengatakan sebagian besar perusahaan di Indonesia masih banyak yang melanggar hak maternitas buruh perempuan. Ada tiga hak maternitas utama yang tidak dihormati perusahaan.
"Berdasarkan pantauan kami, kebanyakan dilanggar perusahaan adalah buruh perempuan dipersulit saat akan mengajukan cuti datang bulan, kewajiban pemberian cuti hamil tidak diberikan, dan tidak tersedianya fasilitas menyusui (ruang laktasi) bagi buruh perempuan yang baru saja melahirkan," jelas Mirah kepada Republika di Jakarta, Rabu (27/4).
Dia memaparkan, saat akan mengajukan cuti datang bulan, perusahaan mewajibkan para buruh perempuan untuk menyertakan surat izin sakit dari dokter. Hal itu, katanya, tidak sesuai dengan aturan dalam UU Ketenagakerjaan 13 Tahun 2003. Berdasarkan UU, cuti datang bulan selama dua hari wajib diberikan perusahaan.
Dia melanjutkan, berdasarkan UU cuti melahirkan wajib diberikan perusahaan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
"Namun, kenyataannya banyak buruh yang sampai usia 8 bulan hingga 9 bulan kandungan masih harus bekerja. Akibatnya, mereka rentan mengalami keguguran," ungkap Mirah.
Menurut dia, angka keguguran di kalangan buruh tergolong tinggi. Sebab, para buruh perempuan yang hamil tidak mendapat keringanan kerja. Mereka rata-rata tetap bekerja selama delapan jam dengan masa istirahat satu jam setiap harinya.
Pelanggaran hak maternitas ketiga adalah minimnya perusahaan yang menyediakan ruang laktasi bagi buruh perempuan yang masih menyusui bayinya. Akibatnya, program ASI kepada bayi-bayi mereka terhambat.
Menurut Mirah, pelanggaran hak maternitas sangat minim mendapat penindakan tegas dari pemerintah. Dia mengungkapkan, hanya ada sedikit sekali perusahaan yang telah dikenai sanksi atas pelanggaran ini. Dia memperkirakan jumlah penindakan tidak mencapai 1 persen dari ribuan kasus yang ada.