Selasa 26 Apr 2016 06:31 WIB

Pengamat: DPR tak Boleh Kunci Pergantian Fahri

Rep: Agus Raharjo/ Red: Indira Rezkisari
 Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyampaikan orasi politiknya seusai Deklarasi Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi) Jabodetabek di Jakarta, Minggu (24/4).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyampaikan orasi politiknya seusai Deklarasi Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi) Jabodetabek di Jakarta, Minggu (24/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menegaskan proses pergantian Fahri Hamzah dari kursi pimpinan DPR adalah hak mutlak Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jadi, pimpinan DPR seharusnya tidak boleh mencampuri urusan internal PKS. Pimpinan DPR juga tidak seharusnya mengunci atau memerlambat proses pergantian tersebut.

“Tidak boleh DPR mengintervensi internal partai, jangan mengunci (pergantian) kader yang dikirim, itu urusan partai, bukan perseorangan, DPR harus hormati keputusan PKS,” tegas Siti Zuhro pada Republika.co.id, Senin (25/4).

Sosok yang akrab disapa Wiwiek itu menambahkan, kalau PKS sudah mengeluarkan keputusan untuk menarik Fahri dari kursi pimpinan maupun anggota DPR, seharusnya harus ditaati. Termasuk oleh Fahri Hamzah sendiri sebagai kader PKS. Dalam ungkapan Islam, kata dia, kalau amanah yang dibebankan pada Fahri sudah dicabut lagi, seharusnya diserahkan kembali, sebab, yang memiliki kehendak atas amanah itu adalah PKS secara institusi.

Bahkan, dalam rezim sebuah partai, pergantian personel jamak dilakukan. Hal itu terkait erat dengan kebijakan baru yang ditentukan oleh pimpinan partai yang baru. Jadi, seharusnya pergantian Fahri Hamzah merupakan proses biasa yang dijalani oleh sebuah partai politik yang baru saja melakukan pergantian kepengurusan.

Pimpinan DPR, kata Wiwiek, seharusnya tetap berlaku profesional dalam memproses pergantian Fahri Hamzah ini. Meskipun, sebagai kolega Fahri di kursi pimpinan DPR, mereka sudah merasa nyaman bekerja bersama anggota DPR RI dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut. Namun, empati maupun kenyamanan itu tidak boleh mengalahkan sikap profesionalisme pimpinan DPR.

“Karena ini bukan masalah pertemanan, ini adalah masalah konstitusional,” tegas Wiwiek.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement