Kamis 21 Apr 2016 13:39 WIB
Hari Kartini

Alfira Naftaly Pangalila, Kartini Muda Pendaki Gunung Himalaya

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andi Nur Aminah
Alfira Naftaly Pangalila
Foto: Istimewa
Alfira Naftaly Pangalila

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi para pendaki gunung, impian mencapai dataran tinggi Himalaya merupakan satu impian luar biasa. Hal ini juga yang diimpikan Alfira Naftaly Pangalila, wanita Indonesia yang tiga kali mencapai pegunungan Himalaya di Nepal.

Kepada Republika.co.id, wanita muda yang memiliki hobby mendaki gunung sejak masih remaja ini mengungkapkan ketertarikannya menjadi seorang pendaki. Berkat jasa sang ayah yang sejak kecil sering mengajaknya mengenal alam, Abex, begitu ia akrab disapa, tumbuh menjadi wanita yang selalu rindu dengan alam bebas. 

"Dari kecil umur lima sampai enam tahun sering dijak papa untuk mengenal alam. Dulu cuma di ajak wisata kemudian di lepas begitu saja. Ternyata saya tertarik bahkan sejak remaja ada rasa ketagihan untuk mengeksplor alam indonesia," ujar dia.

Di umur 13 tahun, Abex mengaku telah dikirim ayahnya dalam pendidikan pencinta alam, di Rindam Jaya Condet. Dari situ ia mengenal lebih jauh aktivitas pecinta alam, mulai dari dasar, bagaimana keamanan dan risiko di alam, serta penanganannya. 

Dari saat itu pula, ia mengakui semakin ketagihan dengan aktivitas alam dan outdoor. Saat memasuki dunia kerja, ia mengaku sempat vakum untuk mendaki gunung dan hal terkait aktivitas pecinta alam. "Paling satu tahun hanya satu kali naik gunung," katanya. 

Kemudian setelah tujuh tahun bekerja akhirnya ia memutuskan untuk berhenti total dari pekerjaannya pada 2011. Ia pun kembalu menggeluti hobi lamanya menjadi pendaki gunung.

Sejak 2012 ia kembali mencurahkan dirinya kepada aktivitas pendakian, hingga mencapai dataran tinggi Himalaya di Nepal. Bagi Abex, pendakian bukan hanya naik gunung semata. Tapi juga ada nilai pelajaran yang ingin ia bagi ke orang banyak dengan hobinya ini. 

Ia sejak awal berprinsip aktivitas pendakian gunung bukan hanya mampu dilakukan oleh pria semata. Wanita juga bisa berperan dalam pendakian gunung. Banyak pihak yang menganggap dulu pendakian gunung identik dengan laki laki. Kalaupun ada wanita persentasinya paling hanya 20 persen. 

Namun saat ini bisa dikatakan sebanding jumlah pendaki pria dan wanita. Dari situ Abex melihat, edukasi bagi pendaki gunung itu bukan hanya untuk pria tapi justru wanita jauh lebih penting. Sebab masalah para pendaki dan pencinta alam perempuan berbeda dengan pria. 

Bagaimana mengatur pendakian saat datang bulan misalnya, dari sini ia mencoba berbagi melalui tulisannya, agar wanita yang mendaki saat datang bulan lebih waspada dan berhati-hati. "Menurut saya itu adalah edukasi yang jarang diberikan pengarahan kepada wanita-wanita pendaki gunung dan pencinta alam," kata dia. 

Dari saat itulah, kegemarannya mendaki gunung juga bukan sekadar hobi, tapi juga berbagi informasi bermanfaat, sekaligus edukasi dan tips keselamatan kepada orang lain.

Bagi wanita seringkali ikut mendaki gunung hanya ikut-ikutan, misalnya ikut cowoknya atau temannya. Sehingga wanita tidak memiliki perhatian lebih, mulai dari keselamatan hingga mengabaikan izin dari keluarga. Padahal Abex mengatakn hal itu sangat penting. Ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, justru sikap seperti ini mempersulit wanita sendiri. 

Kemudian masalah carrier (tas gunung) dengan pembawaan beban yang berat. Abex ingin memperjelas wanita tetap tidak didesain untuk membawa beban berat, layaknya seperti laki-laki. Sebab faktanya, wanita punya rahim dan mudah cidera tulang punggung. 

Di sinilah ia ingin memberi gambaran para wanita pendaki, seperti apa yang seharusnya dilakukan. Abex mengakui kecintaannya sebagai pendaki dan pecinta alam bukan sekadar hobi lagi. Tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi orang lain, terutama wanita untuk mengambil manfaat dari pengalaman-pengalamannya selama ini mendaki gunung. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement