Selasa 19 Apr 2016 06:22 WIB

‎Respons Masyarakat Terhadap Penggusuran Terbelah

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Esthi Maharani
Suasana pascapenggusuran yang terjadi di kawasan Bongkaran, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (15/4). (foto : MgROL_45)
Foto: foto : MgROL_45
Suasana pascapenggusuran yang terjadi di kawasan Bongkaran, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (15/4). (foto : MgROL_45)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu melakukan penggusuran di beberapa wilayah. Respons masyarakat terhadap penggusuran tersebut terbagi dua. Pertama, ada yang mendukung dan menilai bahwa penggusuran tersebut diperlukan. Kedua, ada yang melihat bahwa kebijakan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak tepat karena masyarakat tidak mampu menjadi kecil juga lantaran ulah pemerintah.

"Kalau mereka diberikan fasilitas seperti apa yang diberikan ke konglomerat maka mereka juga bisa maju," kata sosiolog sekaligus Wakil Rektor I Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar kepada Republika.co.id, baru-baru ini.

Sebagai contoh, Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Meski pendidikannya tidak memadai, namun Presiden ke-2 Soeharto memberi berbagai keistimewaan dalam berbisnis. Alhasil, dia pun mampu membangun imperium bisnis yang hebat.

"Rakyat jelata yang digusur tidak dapat kebijakan seperti itu maka jadilah mereka lemah seperti sekarang ini," kata Musni.

Untuk itu, dia menyarankan sebaiknya Ahok berdialog terhadap rakyat kecil korban penggusuran. Selama ini betapapun 'kecilnya' mereka, mereka tetap bisa menjalankan kehidupannya. Meski susah, mereka tetap bertahan. Musni berpendapat relokasi korban penggusuran ke rumah susun sewa (rusunawa) bukanlah solusi mengingat Pemprov DKIhanya menggratiskan biaya sewa di tiga bulan pertama.

Setelah itu, warga  korban penggusuran akan kesulitan membayar sewa setiap bulannya. Contohnya seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Musni menyebut di sana ada 38 kepala keluarga (KK) yang tidak mampu membayar sewa ataupun biaya listrik. Ada yang besaran tunggakannya mencapai Rp 1,7 juta.

"Akibatnya, mereka diberi peringatan oleh penjaga dan disuruh membuat pernyataan kalau sampai batas waktu tertentu tidak mampu bayar sewa mereka harus mengembalikan kunci," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement