REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak mengaku kecolongan atas pembunuhan yang terjadi pada dua pegawai di Kantor Pelayanan Pratama (KPP) Pajak Sibolga, Sumatra Utara (sumut). Untuk melakukan tugas baik itu melayangkan surat penagihan maupun penyitaan, sebenarnya bisa meminta bantuan kepolisian.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, sudah ada peraturan mengenai kerja sama dengan pihak kepolisian. Namun kejadian di Sibolga merupakan kesalahan yang tidak terprediksi. "Sudah ada (peraturannya), kemarin kita kecolongan dengan surat paksa," ujar Ken di Markas Berkas (Mabes) Polri, Rabu (13/4).
Peraturan ini sudah ditandatangani sejak 2012 dan akan berakhir pada 2017. Perjanjian ini bisa diperpanjangan kembali. Dengan perjanjian tersebut, melayangkan surat maupun penagihan dalam jumlah berapa pun bisa dikawal oleh kepolisian asalkan ada permintaan dari pegawai pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Mekar Satria Utama mengatakan, dalam kejadian ini pegawai pajak akan menyerahkan surat paksa. Sehingga tidak ikut didampingi oleh kepolisian, karena dianggap belum ada ancaman.
(Baca Juga: Juru Sita Tewas Ditikam Wajib Pajak di Sumatra Utara)
Mekar menuturkan, pekerjaan apa pun dari pegawai pajak sebenarnya bisa dikawal oleh anggota polisi. Penagihan pun tidak tergantung pada besaran pajak yang tidak dibayar oleh wajib pajak.
"Berdasarkan surat ketetapan pajak setelah dikeluarkan, seharusnya WP bisa melunasi setelah 30 hari batas waktunya. Kalo tidak dilunasi diberi surat teguran dan tambahan waktu tujuh hari. Kalau masih belum bayar kita bisa layangkan surat paksa dan kemudian bisa melakukan penyitaan aset," ujar Mekar.
Sementara untuk kejadian ini, Mekar menyebut baru pertama kali dilakukan terhadap pegawai pajak. Tetapi untuk ancaman hingga ada yang terluka masih sering terjadi kepada pegawai pajak.
"Memang masih banyak daerah yang rawan. Tapi kadang daerah tenang juga kalau wajib pajaknya keras, ya bisa kejadian ini terulang," papar Mekar.