REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) melihat ada dua pelajaran yang bisa dipetik dari pemecatan Fahril Hamzah oleh PKS. Pelajaran tersebut bukan hanya untuk partai politik (parpol), tapi juga untuk kader.
Pertama terkait partai, kasus pemecatan ini menjadi catatan penting bagi parpol untuk tidak boleh semena-mena terhadap anggota atau kader.
Koordinator FORMAPPI Sebastian Salang mengatakan parpol tidak boleh sewenang-wenang memecat kadernya karena alasan kecil apalagi hanya karena perbedaan pendapat dengan pimpinan.
"Kalau pemimpin Parpol sewenang-wenang terjadap kader, maka budaya yang terbangun yakni budaya penjilat, budaya 'asal bapak atau pimpinan senang'. Tidak ada semangat untuk mengkritisi secara internal," ujarnya kepada Republika.co.id, baru-baru ini.
Padahal proses kritisi untuk sebuah demokratisasi internal parpol sangatlah penting. Memang, kata Sebastian, dalam konteks tertentu pimpinan parpol menggunakan otoritasnya agar anggotanya tidak melawan.
Budaya tertib inilah yang mungkin hendak dibangun pemimpin Parpol. Pelajaran kedua yakni bagi kader agar tidak bersikap seenaknya. Kader sebaiknya mengikuti mekanisme yang ada dalam partainya.
"Seringkali politikus atau kader tunduk dan taat pada partai kalau itu menguntungkan atau nyaman bagi mereka," katanya.
Bisa dibayangkan apabila semua kader melawan pimpinan maka situasi akan kacau. Kader yang melawan hanya akan menyulitkan parpol.
Tak jarang kader bertentangan atau beda pendapat dengan pimpinan partai. Sering pula kader mengkritisi kebijakan parpolnya. Hal itu yang seringkali menyebabkan terjadinya proses recall atau pemecatan.