REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Rekrutmen pendamping desa yang dilakukan secara terbuka dinilai sebagai upaya tepat untuk menengahi terjadinya kecemburuan sosial. Hal ini juga menjadi bukti adanya transparansi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dalam merekrut pendamping desa.
“Pendamping desa yang telah lulus perekrutan jangan dibatalkan, karena mereka telah mengikuti proses perekrutan secara terbuka. Hanya saja, keseluruhan pendamping desa harus ada Monev (Monitoring dan Evaluasi), agar lebih transparansi,” ujar Budhis Utami, Wakil Ketua Pelaksana Harian Institut Kapal Perempuan, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (31/3).
Menanggapi beberapa eks PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang berkeinginan menjadi pendamping desa secara otomatis tanpa melalui rekrutmen, Budhis menilai hal tersebut harus dievaluasi terlebih dahulu. Pasalnya, tidak semua eks PNPM memiliki loyalitas dan kinerja yang baik.
“Kalau kinerja eks PNPMnya bagus, barangkali bisa jadi pendamping desa. Tapi harus melalui tahapan Monev terlebih dahulu. Pertanyaannya, apakah eks PNPM ini ada Monevnya? Kalau tidak bagaimana, semua harus ada proses,” ujarnya.
Koordinator Knowledge Development ini juga mengungkapkan, bahwa kinerja Pendamping eks PNPM tidak semuanya bagus dan berjalan sesuai mandat. Ia pernah melakukan penelitian di beberapa kabupaten, yang berkesimpulan bahwa Pendamping PNPM dalam hal ini tidak melakukan aspek pemberdayaan.
“Kami pernah melakukan penelitian di 4 Kabupaten, yakni Lombok Timur, Maros, Kupang dan Mamuju. Dari penelitian tersebut kami lihat, bahwa tidak ada aspek pemberdayaan di dalamnya. Contohnya saja program PKH (Program Keluarga Harapan), yang seharusnya ada aspek pemberdayaan keluarga. Ini tidak ada sama sekali, yang mereka lakukan hanya sebatas fungsi administratif,” ungkapnya.
Temuan lainnya berkaitan dengan program Simpan Pinjam Kelompok Perempuan. Program ini menurutnya, dijalankan dengan tidak transparan dan cenderung hanya dapat diakses oleh masyarakat kalangan menengah ke atas.
“Agar dana simpan pinjam ini bergulir, syaratnya harus ada kelompok perempuan dulu. Temuan di lapangan, kelompok-kelompok perempuan ini sebenarnya hanya fiktif. Dan dana digulirkan, hanya bisa diakses oleh kelompok menengah, bukan dari kalangan miskin,” ujarnya.