Kamis 31 Mar 2016 15:44 WIB

Proses Seleksi Pendamping Desa Diminta Adil

Pekerja membuat kerajinan lampu meja dari rotan sintetis sebelum diekspor ke Italia di Desa Mojorejo, Batu, Jawa Timur, Rabu (30/3).
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Pekerja membuat kerajinan lampu meja dari rotan sintetis sebelum diekspor ke Italia di Desa Mojorejo, Batu, Jawa Timur, Rabu (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Kelompok Kerja (Pokja) Masyarakat Sipil meminta agar proses rekruitmen pendamping desa 2016 dilakukan secara adil, profesional, dan mengedepankan azas keterbukaan. Pokja Masyarakat sipil juga berharap agar tidak ada kelompok atau pihak yang mendapatkan hak istimewa lolos otomatis menjadi pendamping desa tanpa proses seleksi.

“Tugas pendampingan desa cukup berat, oleh karena itu harus ada proses seleksi yang fair, profesional, dan terbuka. Terbuka di sini juga berarti bisa diikuti oleh siapapun yang memenuhi syarat sesuai dengan UU 6/2014 tentang Desa,” ujar Anggota Pokja Masyarakat Sipil AM Maftuchan, dalam rilisnya, (31/3)

Dia mengatakan lahirnya UU 6/2014 tentang Desa merupakan kesempatan emas bagi seluruh masyarakat desa untuk lebih berdaya. Apalagi dalam UU tersebut diamanatkan adanya alokasi dana desa yang bisa dimanfaatkan warga desa memberdayakan diri mereka. “Hal paling penting dari UU Desa adalah adanya ruang luas bagi warga desa merumuskan kebutuhanan mereka untuk kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun program kerja secara mandiri,” ujarnya.

Keberadaan pendamping desa lanjut Maftuh berfungsi sebagai pendamping masyarakat agar mereka bisa segera mandiri dan berdaya. Oleh karena itu perlu proses seleksi ketat agar pendamping desa sesuai dengan amanat UU Desa. “Kalau ada pihak menolak seleksi tentu harus dipertanyakan komitmennya dalam memberdayakan masyarakat desa,” ujarnya.

Terkait desakan para eks fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) agar lolos otomatis sebagai pendamping desa Maftuch mengaku menyatakan ketidaksetujuanya. Dia mengatakan ada perbedaan mendasar antara paradigma pemberdayaan masyarakat ala PNPM dengan UU Desa. PNPM misalnya menempatkan warga desa sebagai objek pembangunan, sedangkan di UU Desa warga merupakan subyek sekaligus objek pembangunan.

“Pendekatan PNPM pun berdasarkan project oriented, sedangkan UU Desa lebih berdasarkan empowering oriented,” jelasnya.

Lebih jauh Maftuch mengungkapan salah satu yang membedakan pemberdayaan desa era Jokowi dengan era sebelumnya adalah adanya transfer fiskal ke daerah.

“Selama ini yang terjadi hanyalah desentralisasi politik, namun desentralisasi fiskal daerah tak terlihat. Di era Jokowi, desentralisasi meningkat menjadi desentralisasi fiskal daerah. Ini menstimulus pembangunan didesa, menstimulus peningkatan ekonomi dilevel masyarakat dan mendorong pemenuhan layanan masyarakat,” jelasnya.

Tak hanya itu, penyaluran Dana Desa juga memiliki multipliereffect lainnya, yakni meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, “ini otomatis karena UU Desa mendorong desa menjadi subyek dan objek sehingga partisipasi masyarakat dalam pembangunan meningkat,” papar Maftuh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement