Rabu 30 Mar 2016 12:14 WIB

Mengutip Pajak Situs Online

Red: M Akbar
William Henley
Foto: istimewa
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley (CEO & Founder IndoSterling Capital)

Ambisi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) untuk meraup pemasukan dari pajak terus dipompa. Belum lama ini, tersiar kabar adanya niat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk meraup potensi pajak dari penyedia layanan berbasis internet (Over The Top/OTT) yang dimiliki perusahaan asing.

Pada tahap awal, perusahaan asing yang coba dibidik potensi pajaknya adalah Google, Facebook, dan Twitter yang beroperasi Indonesia. Diyakini, ketiganya selama ini telah mereguk revenue dari aktivitas iklan digital selama tahun lalu hingga 800 juta dolar AS atau setara Rp 10,6 triliun.

Meski transaksi keuangan yang dilakukan nilainya terbilang besar namun hingga kini belum ada sepeser dana dari mereka itu yang bisa mengalir ke kas negara. Ironis. Pemerintah bagaikan macan ompong yang melihat potensi pajak besar namun tak bisa memungutnya.

Ancaman pemblokiran coba dimainkan oleh Kominfo. Kegemasan pemerintah rupanya sudah tak bisa lagi terbendung setelah mendengar kabar revenue menggiurkan yang telah diraup oleh Facebook, Twitter, dan Google dari hasil transaksi keuangannya di negeri ini. Kesadaran pun muncul.

Pemerintah tidak bisa memungut pajak dari perusahaan online tersebut karena ketiganya belum memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Di sinilah letak persoalannya.

Padahal di negara maju semacam Inggris, misalnya, Google sempat dibuat tak berkutik ketika ditagih dalam urusan pajak. Google pun sempat menyetujui untuk membayar 130 juta pounds (sekitar Rp 2,6 triliun) kepada pemerintah Inggris.

Uang itu sebagai pembayaran pajak untuk beberapa tahun ke belakang setelah dilakukannya audit terbuka oleh lembaga pajak Inggris. (BBC, 23 Januari 2016)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement