REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Haiyati Rumondang, mengatakan besaran upah minimum kota (UMK) tidak mempengaruhi kenaikan angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Terjadinya kenaikan jumlah pekerja yang terkena PHK murni dipengaruhi faktor di luar PHK.
"PHK yang terjadi saat ini tidak ada kaitannya dengan sistem UMK baru. Sudah kami pastikan dari penelusuran di daerah," jelas Haiyani kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (29/3).
Penyebab utama PHK, lanjut dia, masih sama seperti sebelumnya, baik pelanggaran dalam bekerja atau telah selesainya masa kontrak kerja. Hingga saat ini Kemenakertrans mencatat 238 perusahaan yang menangguhkan pedoman pembayaran UMK sesuai peraturan baru.
"Dari jumlah itu ada beberapa perusahaan yang dalam perkembangannya mampu membayar UMK sesuai sistem upah baru. Sisanya kami harap secepatnya dapat melakukan kewajibannya," tambah dia.
Menurut Haiyani belum ada batas waktu penangguhan pembayaran UMK bagi perusahaan. Kemenakertrans hanya menekankan agar kewajiban membayar UMK sesuai PP 78 Tahun 2015 segera dilakukan jika kemampuan perusahaan telah membaik.
Sementara itu berdasarkan data yang dihimpun Republika dari Kemenakertrans, tercatat adanya kenaikan jumlah pekerja yang ter-PHK. Hingga akhir Maret 2016, sudah ada 3.795 pekerja yang terkena PHK. Jumlah ini lebih tinggi jika dibandingkan angka PHK pada bulan sebelumnya yakni 1.565 pekerja.
Dari jumlah itu, terdapat empat daerah dengan jumlah PHK tertinggi yakni Sulawesi Utara (1076 pekerja), DKI Jakarta (1048 pekerja) , Sumatera Utara (454 pekerja) dan Kalimantan Timur (448 pekerja). Sektor yang paling banyak menyumbang PHK yakni pertanian dan perikanan serta perdagangan, jasa dan investasi.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mencatat jumlah pekerja terkena PHK mencapai 22.680. Jumlah itu berasal dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur.