REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kematian Siyono (34), terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) memunculkan tanda tanya besar bagi banyak orang.
Tak sedikit dugaan yang mengarah pada tindakan sewenang-wenang atau dengan kata lain tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dilakukan oleh pasukan tersebut.
Beberapa pihak, seperti Komisi nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta agar autopsi dilakukan untuk mengungkap fakta penyebab kematian Siyono. Meski hingga saat ini belum dilakukan, namun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengaku telah mengizinkan hal itu dilakukan.
Pengamat terrorism dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan keluarga Siyono berhak untuk menuntut keadilan atas kematian yang dianggap tidak wajar tersebut. Menurutnya, autopsi merupakan bagian dari proses mencari titik kebenaran dalam kasus itu.
"Autopsi jadi bagian dari proses mencari titik dan indikasi kebenaran kasus kematian Siyono. Semua orang sama di mata hukum, karenanya keluarga dan korban sendiri berhak mendapatkan keadilan," ujar Harits kepada Republika.co.id, Selasa (29/3).
Menurutnya, selama ini pihak Densus 88 yang berada di bawah Polri selalu memberikan argumentasi yang cenderung membenarkan tindakan para personilnya di lapangan. Bahkan, semua selalu dianggap sudah sesuai dengan Standar Operasional prosedur (SOP).
"Sudah seharusnya audit dan evaluasi atas kinerja Densus 88 dilakukan karena jika tidak, pembelaan yang dilakukan oleh pihak Polri terus menjadi tanda tanya bagi banyak masyarakat," jelas Harits.