Senin 28 Mar 2016 21:09 WIB

Sikap Politik AM Fatwa Disayangkan

DPD
Foto: Yogi Ardhi/Republika
DPD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Sikap politik Ketua Badan Kehormatan DPD RI, AM Fatwa, yang meminta pimpinan DPD untuk menandatangani usulan draf tatib masa jabatan 2,5 tahun disayangkan. Mantan anggota DPD periode 2004-2009, M Yunus Syamsuddin mengatakan, tindakan tersebut tak hanya mencederai wibawa lembaga DPD, tetapi juga mempertontonkan ketidakdewasaan berpolitik AM Fatwa. 

“Kami dulu juga pengusung ide 2,5 tahun, tetapi tidak kasar seperti itu. Tindakan beliau menurut saya perlu diambil  tindakan,” kata Yunus di Jakarta, Senin (28/3). 

Sidang paripurna DPD pada Kamis (17/3) malam berlangsung ricuh. Kericuhan terjadi setelah AM Fatwa meminta Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad menandatangani draft usulan tatib. Selanjutnya, AM Fatwa dan kawan-kawan menduduki kursi pimpinan begitu Irman dan Farouk meninggalkan ruang sidang paripurna.

Berdasarkan pengalamannya menjadi anggota DPD, Yunus melanjutkan, tindakan AM Fatwa juga tak lazim karena tidak pernah ada proses penandatanganan dokumen dalam sidang paripurna.

Yunus menjelaskan, seharusnya AM Fatwa memberikan contoh yang baik sebagai seorang politisi senior.

“Aneh juga sih melihat AM Fatwa melakukan permintaan kepada pimpinan untuk menandatangani konsep tatib yang akan diberlakukan, namun kenyataannya agenda meminta tanda tangan kepada pimpinan di sidang paripurna tidak mendapat persetujuaan dari pleno Badan Kehormatan,” ujarnya.

Menurut Yunus, hal yang telah dilakukan AM Fatwa tersebut justru bisa diajukan ke Badan Kehormatan. “Sebagai bentuk pelanggaran etika,” ucapnya.

Anggota DPD asal Sumatra Utara Dedi Iskandar Batubara juga menyayangkan terjadinya konflik yang membuat nama DPD menjadi semakin terpuruk di mata publik. “Jika bisa menahan diri, seharusnya isu ini terkelola di internal di DPD. Sikap dewasa berpolitik harusnya dikedepankan,” kata Dedi.

Menurut Dedi, secara pribadi, dia tidak setuju apabila masa jabatan pimpinan DPD dipotong hingga 2,5 tahun karena tidak sesuai dengan Undang-uUndang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UUMD3).  “Masa jabatan pimpinan DPD semestinya mengikuti rezim hasil pemilihan umum, yaitu lima tahun,” ujarnya.

Di sisi lain, Dedi melanjutkan, pimpinan DPD saat ini tidak pernah melanggar aturan apapun dan tak pernah melanggar etika sebagai pimpinan, sehingga tidak ada alasan mengganti mereka di tengah jalan. Justru yang harus dilakukan adalah memperkuat posisi DPD dalam sistem tata negara dan menjadikan DPD semakin berdaya guna bagi kepentingan daerah dan rakyat.

Pengamat politik dari Institute of Democracy and Education (IDE) Hasan Basri melihat ada upaya kudeta yang dilakukan secara sistematis terhadap pimpinan DPD. “Kudeta ini dilakukan lewat isu memotong masa jabatan pimpinan menjadi 2,5 tahun itu,” ujarnya.

Hasan Basri mengingatkan, upaya kudeta melalui isu 2,5 tahun agar dihentikan karena bisa menggangu stabilitas politik nasional dan hanya merugikan kepentingan daerah dan rakyat. “DPD lebih baik fokus kepada hal-hal substantif,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement