Kamis 17 Mar 2016 23:44 WIB

Kematian Siyono Dinilai Sebagai Bukti Polisi Bertindak tanpa Aturan

Rep: Puti Almas/ Red: Ilham
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang
Foto: Antara
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34 tahun), membuat publik menyoroti kinerja dari Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Hal ini juga memunculkan pertanyaan, apakah aparat telah bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, terdapat unsur police brutality dalam penyalahgunaan wewenang dari aparat penegak hukum saat menjalankan tugas. Hal ini bisa terlihat dari keterangan pihak pasukan khusus tersebut.

"Police brutality paling mungkin muncul dari Densus 88. Kita bisa melihat dari alasan yang diberikan mengapa aparat menindak Siyono secara keras, mulai dari adanya perlawanan setelah borgolnya terlepas, lalu saat itu katanya hanya ada sedikit petugas yang mengawal," kata Al Chaidar kepada Republika.co.id, Kamis (17/3). (Kematian Siyono, DPR Bakal Panggil Kapolri).

Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan, keterangan yang diberikan pihak Densus 88, seperti melepas borgol Siyono, membuktikan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh aparat sendiri. Sangat tidak masuk akal jika aparat menaati standard operating procedure (SOP) yang telah ditetapkan, tidak mungkin melepas borgol.

"Tidak mungkin bisa sampai demikian, karena itu sebaiknya segera mungkin Densus 88 dievaluasi terkait kinerjanya, bukan keberadaannya karena pasukan ini dibutuhkan," kata Al Chaidar menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement