Kamis 17 Mar 2016 09:52 WIB

HRWG: Revisi UU Terorisme Malah Buka Peluang Pelanggaran HAM

Anggota Densus 88 Antiteror Polda Jabar melakukan penggerebekan terduga ISIS di Desa Orimalang, Kecamatan Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/1). (Antara/Solihin)
Anggota Densus 88 Antiteror Polda Jabar melakukan penggerebekan terduga ISIS di Desa Orimalang, Kecamatan Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, Jumat (15/1). (Antara/Solihin)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Group (HRWG) menilai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membuka peluang pelanggaran HAM, terutama dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip 'fair trial' dan larangan penyiksaan.

"Bukannya memperkuat mekanisme pengawasan dan prosedur penanganan, pasal-pasal revisi justru semakin membuka peluang bagi kesewenang-wenangan aparat dan penegak hukum, jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil, akuntabel dan transparan," kata Direktur Eksekutif HRWG Rafendi Djamin dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis (17/3).

HRWG mendukung upaya pemerintah untuk memberantas segala bentuk teror yang harus berada dalam konteks perlindungan hak rasa aman setiap orang dan pemberantasannya tidak serta merta dapat menabrak prinsip-prinsip penegakan hukum.

Sebaliknya, pemberantasan terorisme harus tetap memperhatikan rambu-rambu hak asasi manusia. HRWG menilai bahwa penanganan terorisme masih sangat memprihatinkan bila dilihat dari perspektif HAM, terutama dalam kasus terakhir ketika seorang terduga teroris, Siyono (34), warga Kabupaten Klaten, yang diketahui meninggal setelah ditangkap oleh Densus 88.

Siyono ditangkap oleh pasukan Densus Antiteror Mabes Polri di rumahnya di Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (9/3). Pasukan Densus 88 yang didukung anggota Polres Klaten kemudian melakukan penggeledahan di rumah Siyono, pada Kamis (10/3) siang.

Menurut HRWG, tidak memadainya revisi dapat dilihat dari sejumlah pasal di dalam RUU, di antaranya perpanjangan masa tahanan, tuntutan dan proses peradilan (Pasal 25 RUU), penghapusan izin penyadapan dari Pengadilan Negeri dan tidak adanya prosedur pengawasan (Pasal 31 RUU), penempatan terduga teroris di tempat tertentu (Pasal 34A) yang justru bertentangan dengan semangat penghukuman dan anti-penyiksaan.

Kemudian, adanya potensi mengembalikan peranan TNI dalam pemberantasan terorisme (Pasal 43B) yang justru bertentangan dengan semangat reformasi, serta beberapa pasal yang masih kabur dan memunculkan multitafsir.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement