Rabu 16 Mar 2016 21:56 WIB

'Jalur Independen dan Jalur Parpol tak Bisa Disetarakan'

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Djibril Muhammad
 Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menunjukan contoh halaman dari Aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) saat peluncurannya di Gedung KPU, Jakarta, Senin (7/12).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menunjukan contoh halaman dari Aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) saat peluncurannya di Gedung KPU, Jakarta, Senin (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu alasan yang mengemuka terkait usulan kenaikan syarat dukungan calon independen dalam rencana revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada adalah untuk memenuhi prinsip keberimbangan dan keadilan antara dua jalur pencalonan, baik melalui jalur independen maupun jalur partai politik (parpol). Namun, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Hadar Nafis Gumay, menilai dua jalur pencalonan itu tidak bisa dikomparasi begitu saja.

Menurut dia, secara alamiah, kedua jalur itu memang sudah berbeda. Menempatkan jalur independen dengan jalur parpol, kata Hadar, tidak sebanding. Sebab, parpol merupakan organisasi yang sudah dibangun sejak awal, bahkan mesin-mesin politik partai sudah dibangun di luar masa pemilu.

Kondisi ini jauh berbeda dengan jalur independen, yang berangkat dari hal yang kosong dan baru membangun timnya untuk bisa ikut dalam pemilihan. "Tidak bisa disetarakan dengan satu organisasi kepartaian yang sudah meluas," ujar Hadar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (16/3).

Hadar menambahkan, jika memang ada keinginan untuk membuka calon-calon yang luas, baik dari partai politik ataupun independen, untuk maju dalam pilkada, maka semestinya kedua jalur itu tetap dibuka. Tanpa harus melakukan penyetaraan ataupun menyamakan standar-standar di keduanya.

"Ya dibuka dua jalur itu, tanpa harus menyetarakan atau menyamakan. Karena, nature atau secara alamiah memang sudah berbeda," katanya.

Usulan kenaikan syarat dukungan minimum terhadap calon independen itu muncul seiring dengan rencana revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam usulan tersebut, ada dua model yang ditawarkan, pertama syarat dukungan calon independen adalah 10-15 persen, kedua 15-20 persen dari data pemilih tetap.

Usulan ini muncul sebagai bentuk penerapan prinsip keberimbangan antara calon independen dan calon dari partai politik. Pada saat ini, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), syarat dukungan KTP bagi calon independen sebesar 6,5 hingga 10 persen. Sementara dukungan calon dari parpol naik menjadi 20 persen dari jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement