REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali aktif mengomentari sejumlah kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Komentar tersebut dinilai wajar selama mengandung kritik yang bersifat membangun.
"Kalau SBY diam saja, maka orang akan menanyakan posisi politik Demokrat," kata pengamat politik Universtas Padjadjaran (Unpad) Bandung Muradi kepada Republika.co.id, Rabu (16/3).
Namun, yang harus menjadi catatan adalah SBY sebaiknya tidak membandingkan pemerintahan saat ini dengan pemerintahan yang dipimpinnya dulu. Pasalnya, hal tersebut tidak memberikan efek apa pun.
Muradi mengatakan, di negara demokratis yang lebih maju, tidak pernah ada presiden terdahulu yang membandingkan-bandingkan, apalagi menjelek-jelekkan pemerintahan sekarang.
Saat ini, yang paling memungkinkan dan efektif bagi Demokrat ke depannya adalah melakukan konsolidasi internal. Selama 1,5 tahun ini, Muradi tidak melihat proses itu dalam tubuh Demokrat.
Malah, pascalengsernya SBY, Demokrat seolah kehilangan orientasi. Ini terbukti dari salah satu kadernya, yakni Ruhut Sitompul, yang mendukung Joko Widodo dalam pilpres lalu.
Contoh lain, yakni politikus senior Demokrat Saan Mustopa, yang pindah ke Partai Nasdem. Partai tersebut tidak dalam irama terkonsolidasi. "Tugas SBY di situ, ketimbang melakukan Tour de Java," ujarnya.