REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mempertanyakan "Standard Operational Procedur" (SOP) penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme, terkait tewasnya Siyono yang ditangkap oleh Densus 88, Rabu (9/3).
"Kasus tewasnya Siyono mengingatkan saya pada kejadian penyiksaan yang dialami lima orang korban salah tangkap di Poso pada 2013 lalu," kata Nasir Djamil di Jakarta, Rabu (16/3).
Nasir mengingatkan Densus 88 kerap kali melakukan tindakan penyiksaan sejak tahapan penangkapan. Menurut Nasir, tindakan penyiksaan yang dilakukan Densus 88 ini dilakukan dengan menutup mata kepada terduga pelaku teroris, serta memukul bagian tubuh dan kepala dengan senjata.
"Padahal pelaku yang ditangkap belum tentu menjadi tersangka dan bahkan sering terjadi salah tangkap," ujarnya.
Dia mengatakan tindakan itu sulit diproses secara hukum karena korban tidak melihat langsung siapa yang menyiksa. Nasir mengatakan dirinya sebagai anggota Pansus Revisi UU Terorisme, akan mempertegas pengaturan prosedur penangkapan dan bahkan mengurangi kewenangan Densus 88 dalam penangkapan. (Baca >> NU: Kasus Siyono Harus Jadi Pelajaran Terakhir Densus)
"Densus 88 seringkali melakukan pendekatan penyiksaan kepada terduga teroris," kata Nasir.
Dia mengatakan dalam waktu dekat, dirinya akan meminta klarifikasi kepada Kapolri serta mempelajari SOP penangkapan Densus 88.
Menurut dia, jika ditemukan ada celah Densus 88 melakukan tindakan penyiksaan, maka Komisi III akan membatasi ketentuan penangkapan dalam revisi UU Terorisme tersebut.
"Saya khawatir, pelaku penyiksaan sulit terungkap karena penyiksaan dilakukan oleh internal Polri, dan kemungkinan sulit mencari saksi di luar polri yang melihat kejadian tersebut," ujarnya.
Nasir menegaskan dibutuhkan ketegasan Kapolri untuk mengungkap petugas Densus yang bertugas saat penangkapan Siyono dan diberi sanksi berat.