REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah hendaknya mengatur dan bukannya memblokir serta melarang transportasi berbasis aplikasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hendaknya tidak memblokir layanan Grab dan Uber karena keberadaan keduanya diperlukan masyarakat.
"Pemerintah seharusnya membuat kerangka pengaturan yang dapat mengikat perusahaan aplikasi transportasi, penyedia jasa angkutan penggunan aplikasi, dan konsumen," ujar peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Faiz Aziz di Jakarta, Selasa (15/3).
Pihaknya juga mendorong pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
"Masukkan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi dalam UU dan PP tersebut," kata Faiz.
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi cukup diperlukan masyarakat mengingat sistem transportasi Indonesia yang masih belum optimal berbenah diri. Untuk itu, hendaknya pemerintah memberi jalan keluar, bukannya malah memblokir transportasi tersebut.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyurati Menteri Komunikasi dan Informatika perihal permohonan pemblokiran aplikasi pemesanan angkutan (Uber Taksi dan Grab Car).
Surat bertanggal 14 Maret 2016 ini seolah menjadi jilid II kontroversi transportasi online antara Menteri Perhubungan dengan perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Sebelumnya Menhub telah melayangkan surat Menteri Perhubungan No. UM.302/1/21/Phb/2015 tanggal 9 November 2015 kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Perihal (Kapolri).
Isinya perihal kendaraan pribadi (sepeda motor, mobil penumpang, mobil barang) yang digunakan untuk mengangkut orang dan/atau barang dengan memungut bayaran. Surat pertama ini kemudian dicabut atas desakan masyarakat dan Presiden Joko Widodo.