Senin 14 Mar 2016 05:30 WIB

Pengamat: Mahar Politik Diatur dalam UU Pilkada

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Achmad Syalaby
 Pilkada Serentak (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pilkada Serentak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mahar politik menjadi sesuatu yang lumrah terjadi antara parpol dan bakal calon kepala daerah menjelang Pilkada. Pengamat Hukum Tata Negara SIGMA, M. Imam Nasef menjelaskan, secara yuridis, 'mahar politik' sebenarnya sudah diatur dalam UU Pilkada yang menjadi payung hukum pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

"Mahar politik sudah diatur dalam UU Pilkada," kata dia dalam keteranan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (13/3). Ia menuturkan, terminologi mahar politik memang masih multitafsir. Kendati demikian, dari sejumlah pendapat yang mengemuka, setidaknya istilah mahar politik merujuk kepada dua hal.

(Baca: Penjelasan Ahok Soal Mahar Politik).

Pertama, Imam menjelaskan, suatu imbalan khususnya dalam bentuk uang yang diberikan seorang calon kepada partai politik tertentu, dengan maksud agar parpol tersebut mencalonkan yang bersangkutan dalam Pilkada."Praktik semacam ini sering diistilahkan dengan 'jual-beli perahu'," ujarnya.

Kedua, Imam melanjutkan, yakni mengacu pada sejumlah uang yang dipersiapkan untuk membantu biaya operasional keikutsertaan calon tertentu dalam suatu kontestasi Pilkada. Namun, kata dia, sepertinya publik lebih banyak yang menterjemahkan mahar politik sebagaimana makna yang pertama. 

Kedua hal tersebut, sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8/2015 (UU Pilkada).

Menurut Imam, yang pertama, misalnya, apabila mahar politik itu merujuk kepada jual-beli perahu partai politik, melalui ketentuan Pasal 47 UU Pilkada hal itu telah secara tegas dilarang. Bahkan, apabila ada praktik semacam itu, sanksinya sangat berat, calon yang bersangkutan bisa dibatalkan keikutsertaannya. Sementara parpol yang menerima imbalan tidak boleh ikut pada pilkada berikutnya.

Untuk yang kedua, ia melanjutkan, apabila mahar politik itu merujuk kepada biaya operasional, UU Pilkada memang tidak melarangnya. Karena hal itu merupakan suatu keniscayaan. Akan tetapi, UU Pilkada tetap memberi batasan, misalnya, pihak mana saja yang boleh menyumbang, berapa besaran maksimal sumbangannya dan lain sebagainya.

"Oleh karena itu, dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang, sebaiknya para calon dan parpol menghindari praktik mahar politik, kalau tidak mau berakibat fatal bagi keduanya," tutur Imam menambahkan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement